Pemerintah Indonesia mempertanyakan keputusan Pengadilan Kejahatan Internasional/ International Criminal Court (ICC) yang berpusat di Den Haag mengeluarkan surat penangkapan terhadap Presiden Sudan Omar Al-Bashir yang dituduh melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di wilayah yang dilanda perang di bagian barat negeri tersebut, Darfur, antara 2003 dan 2008.
“Proses itu harus dilalui secara transparan kriterianya apa, mengapa penetapannya seperti itu. Yang jelas itu dipertanyakan, motivasinya, mengenai justifikasinya harus seimbang,” kata Juru Bicara Deplu Teuku Faizasyah dalam media briefing, di Kantor Deplu, Jakarta , Jum’at (7/3).
Konflik yang terjadi, menurutnya, bukan hanya melibatkan satu pihak saja, tetapi didalamnya ada dua pihak yang berperan yakni pemerintah dan pemberontak. Sehingga, apakah yang menjadi pertimbangan ICC ini patut dipertanyakan.
Keputusan yang diambil Pengadilan Kejahatan Internasional mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Presiden Sudan Omar al-Bashir, lanjut Faiza, dikhawatirkan membawa implikasi yang buruk terhadap penyelesaian konflik secara damai di Sudan.
“Baik buruk proses penangkapan itu, tidak akan berkontribusi positif terhadap proses perdamaian di wilayah konflik Sudan . Terlepas plus minusnya. Presiden Bashir merupakan bagian dari proses perdamaian itu,” jelasnya.
Ketika ditanya apakah penangkapan Presiden Bashir merupakan hal berbau politis, Ia menegaskan, kalau mau jujur sebenarnya semua pihak yang menyebabkan terjadinya korban jiwa dan kerusakan harus dimintakan pertanggungjawabanya.
Penangkapan terhadap Presiden Sudan Omar al-Bashir diprotes banyak pihak. Aksi demonstrasi menentang ICC pun merebak di Khartoum . Presiden Bashir, Kamis (5/3), bergabung dengan lebih dari 5.000 orang di Lapangan Martir di Khartoum, ibu kota Sudan , memprotes Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC).(novel)