Menyikapi berbagai kritik atas diberlakukannya perjanjian pertahanan RI-Indonesia (Defend Operation Agreement/DCA), pemerintah Indonesia mengusulkan agar kedua perwakilan negara kembali membahas hal-hal yang bersifat teknis dalam substansi perjanjian itu, sehingga menimbulkan interpretasi yang berbeda.
"Khususnya yang menyangkut daerah militer belum ada, oleh karena itu kita memandang perlu kedua belah pihak untuk duduk kembali, membahas pengaturan yang bersifat teknis khusus untuk bravo area, "ujar Juru Bicara Deplu Kristiarto soerjo Legowo, di Kantor Departemen Luar Negeri, Jakarta, Jum’at (6/7).
Menurutnya, hal yang bersifat sensitif seperti penggunaan daerah latihan militer dalam pasal 6 DCA perlu pengaturan yang lebih jelas baik secara teknis, operasional maupun administrasi.
Kristiarto membantah anggapan yang menyatakan bahwa dengan perjanjian itu Singapura telah berbuat curang terhadap Indonesia. Ia menegaskan kembali, untuk menerapkan perjanjian itu tidak ada yang berhak berbuat sesuatu tanpa persetujuan kedua belah pihak.
"Saya ingin tekankan lagi, Indonesia berpandangan bahwa DCA itu tidak bersifat self executing, tidak bisa diperlakuan begitu saja dengan sendirinya, " tandasnya.
Ia menjelaskan, keterkaitan antara DCA dengan perjanjian ekstradisi menyangkut masalah proses terbentuknya perjanjian, bukan diartikan sebagai barter, yang jelas apapun bentuknya perjanjian itu akan membawa manfaat bagi Indonesia. (novel)