Komisioner Komnas HAM, Saharudin Daming, mengatakan Indonesia kaya akan aturan hukum tapi miskin penegakan hukum. Hal ini disampaikannya dalam diskusi buku Kontra Terorisme yang ditulis oleh Sapto Waluyo, Sabtu (14/11/09).
Mind trigger terrorism adalah kompleksitas. Sebuah kata yang merangkum semua akar masalah yang dinilai sulit dipecahkan. Kata kompleksitas juga menggandeng kata komprehensif yang merupakan jawaban normatif terhadap bagaimana menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan kompleksitas itu. Misalnya, masalah kemiskinan dan masalah terorisme adalah masalah yang kompleks, oleh karena itu, kita hanya dapat menyelesaikannya secara komprehensif dengan koordinasi antara lembaga-lembaga yang terkait. Setidaknya, hal ini adalah salah satu teori yang mencuat ketika diskusi buku Kontra Terorisme digelar Sabtu (14/11/09) lalu di Gedung PPSDMS, Lenteng Agung, Jakarta.
Sapto Waluyo, penulis buku Kontra Terorisme, menyinggung bahwa penanganan terorisme juga terkait erat dengan sistem pemerintahan yang ditata di Indonesia. Sapto menamakan beberapa gaya pemerintahan di Indonesia sesuai dengan gaya kepala negaranya dalam mengambil keputusan, seperti ‘governance by regulation’ (pada masa pemerintahan B.J. Habibie) karena banyak sekali aturan yang digulirkan pada waktu itu. Lalu, ada ‘governance by statement’ yang sangat terlihat pada masa pemerintahan Gus Dur, seorang presiden yang seringkali mengeluarkan statement kontroversial. Adapula julukan ‘governance by silence’ yang diberikan untuk Megawati Soekarnoputri. Sementara, masa pemerintahan SBY saat ini, Sapto lebih senang memberi julukan sebagai ‘governance by good performance’.
Lebih lanjut, Sapto mengemukakan bahwa terorisme itu bisa jadi hal sekunder dibandingkan korupsi, yang disebutnya sebagai extra ordinary crime. "Dibandingkan dengan terorisme, korupsi lebih besar bahaya destruksinya. Kejahatan yang extra ordinary crime bisa dilawan dengan lembaga yang extra ordinary juga," ujar Sapto yang juga pengurus PPSDMS.
Sapto Waluyo telah malang-melintang di dunia jurnalistik, ia pernah bertugas ke Italia dan Vatikan, Jerman, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, Yordania, dan Palestina untuk bertemu dan mewawancarai sejumlah kepala negara dan tokoh internasional. Lalu, ia ikut mendirikan Gerakan Rakyat Antikorupsi Indonesia (GeRAK). Beberapa buku yang telah diterbitkannya antara lain: Pergulatan Spiritual 15 Artis (2002), Mewujudkan Masyarakat Madani: Platform Kebijakan Partai Keadilan Sejahtera (2007), dan Regenerasi Kepemimpinan Bangsa (2009). Buku Kontra Terorisme terdiri dari dua bagian, yaitu bagian pertama yang merupakan bahan tesis penulis di S. Rajaratnam School of International Studies, Singapura, sementara bagian kedua adalah kumpulan tulisan dan liputan dari Majalah SAKSI dan artikel yang tersebar di media nasional. Sapto adalah Redaktur Senior di Majalah SAKSI hingga 2007.
Diskusi buku ini menghadirkan Kemal Azis Stamboel (Ketua Komisi I DPR RI) yang juga Dewan Penasihat PPSDMS (Program Pembinaan Sumber Daya Manusia Strategis) Nurul Fikri. Selain Kemal, adapula Andi Wijayanto (Pengamat Militer dan Dosen Hubungan Internasional FISIP UI), Saharudin Daming (Komisioner Komnas HAM) sebagai pembicara.
Saharudin Daming, Komisioner Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM, menyatakan bahwa pendekatan kontra teror yang dilakukan di Indonesia seringkali represif serta mengandalkan sumber-sumber intelijen yang kerap kali tidak akurat. "Menurut UU No. 15 tahun 2003, Kepolisian dapat melakukan upaya counter terrorism dari sumber-sumber intelijen, padahal sumber-sumber intelijen datanya sering tidak akurat," ujar Saharudin.
Ia juga menegaskan bahwa setiap orang berhak memperoleh jaminan perlindungan meskipun ia dalam proses hukum, hal ini sesuai dengan pasal 30 UU No. 39 tahun 1999. Oleh karena itu, peristiwa penggerebekan di Temanggung, Solo, dan Ciputat seharusnya bisa dihindari, kata Saharudin. (Ind)