Ia mengatakan strategi budaya ini mulai meningkat sejak beberapa tahun belakangan ini. Misalnya, berdirinya China-Indonesia Cultural Forum pada Januari 2019 dan Partai Komunis China melakukan pertukaran budaya melalui BRI di Bali, pada September 2018.
Cina kabarnya juga berencana lagi untuk membangun Confucius Institute di beberapa tempat di Indonesia, yang beberapa sudah dibangun. “Tapi perlu dicatat, bahwa strategi-strategi ini masih dalam tahap awal di Indonesia. Perkiraan ke depan ini akan meningkat seiringnya berjalannya waktu,” katanya.
Melihat hal ini, menurutnya, ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama, mempelajari tentang Cina, motif, dan strateginya seperti apa, sehingga Indonesia tidak salah dalam membuat kebijakan atau respons.
Kedua, Indonesia juga perlu sadar bahwa sebenarnya Cina yang lebih butuh Indonesia daripada sebaliknya. Berdasarkan peta BRI, jalur laut BRI memang direncanakan melewati Indonesia.
Ini artinya Indonesia memiliki posisi strategis dalam rencana Cina. Dengan kata lain, rencana untuk menghidupkan jalur sutra kembali tidak akan terwujud tanpa peran Indonesia.
“Karena itu, langkah kedua adalah kita harus lebih berani untuk berhadapan dengan Cina. Istilahnya ‘Jangan Nrimo Aja’,” kata Zulfikar.
Dia mencontohkan, Malaysia sudah membuktikan mereka bisa bernegosiasi dengan Cina. Begitu juga dengan Arab Saudi melalui proyek YASREF di Laut Merah, di mana perjanjian yang dilakukan dengan Cina adalah 63:37 dan Arab Saudi memiliki kontrol dan peran yang lebih strategis.