Indonesia Belum Layangkan Surat Resmi Keluar dari OPEC

Pemerintah Indonesia belum memberikan surat pengunduran diri secara resmi dari keanggotaan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC). Oleh karena itu, hingga akhir tahun ini Indonesia masih resmi menjadi negara anggota OPEC.

Hal itu dikatakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (29/7).

"Tahun ini masih `member` dari OPEC karena kita sudah bayar dan saya ingin koreksi, kalau dikatakan keanggotannya itu mahal, tidak.
Sebetulnya 2 juta dolar AS satu tahunnya itu. Tapi kan kita masalahnya sudah jadi `net oil importer`, " kata Purnomo seusai mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertemu Presiden OPEC Chakib Khalil.

Ia menjelaskan, di Aljazair, produksi minyak dan gasnya hampir sama dengan Indonesia, namun penduduknya hanya 35 juta jiwa dibandingkan Indonesia yang mencapai 230 juta jiwa, karena itu Aljazair masih menjadi anggota OPEC.

"Jadi kita juga jadi `net oil importer`. Tadi dijelaskan oleh Presiden,
kita sudah jadi `net oil importer` bukan soal kita tidak mau dekat dengan OPEC, " katanya.

Presiden OPEC menanggapi wacana tersebut menyatakan menghargai keanggotaan Indonesia, karena memiliki peranan yang penting.

"Kami ingin melanjutkan hal itu, tetapi itu adalah keputusan masing-
masing negara untuk tetap menjadi anggota, non aktif atau keluar dari organisasi. Jadi itu merupakan keputusan dari masing-masing negara bukan kewenangan dari OPEC, " kata Chakib.

Dalam pertemuannya dengan Presiden Yudhoyono, Chakib Khelil mengatakan, pembicaraannya dengan Kepala Negara berkisar tentang kenaikan harga minyak dan juga perdagangan komoditas itu di masa yang akan datang.

"Dalam pembicaraan itu juga kami berdua memiliki pandangan bahwa kenaikan harga minyak terlalu tinggi saat ini. Dengan harga minyak saat ini, itu tidak menguntungkan baik bagi produsen maupun konsumen, "
katanya.

Ia menjelaskan, harga itu dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti nilai tukar mata uang, juga diakibatkan oleh isu geopolitik, khususnya yang berhubungan dengan isu Iran, dan alasan yang ketiga adalah diperkenalkannya bioetanol di pasar Eropa dan Amerika.

"Dari isu-isu itu kenaikan harga minyak tidak semata-mata karena supply dan demand, " paparnya.

Harga minyak telah melesat ke rekor tertinggi di atas 147 dolar AS per barrel pada 11 Juli, karena mata uang AS melemah dan memuncaknya ketegangan Barat dan Iran.

Harga minyak telah turun lebih dari 20 dolar AS di tengah kekhawatiran pelambatan ekonomi global yang dapat menekan permintaan energi, terutama di Amerika Serikat, konsumen minyak terbesar dunia.

Pada Sabtu pekan lalu, Chakib Khelil mengatakan harga minyak dapat jatuh menjadi antara 70 hingga 80 dalar AS per barel, jika dolar AS menguat dan kekhawatiran atas Iran berkurang.(novel/ant)