Indonesia dalam beberapa tahun ke depan akan menjadi target utama kampanye Internasional pengendalian tembakau di kawasan Asia Tenggara. Alasannya, Indonesia merupakan satu-satunya negara di wilayah Asean yang belum meratifikasi Konvensi WHO tentang Pengendalian Rokok (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC).
Demikian salah satu rekomendasi pertemuan regional selama dua hari, sejak kemarin, di Bangkok, Thailand.
Pertemuan itu dihadiri sekitar 80 orang perwakilan organisasi kesehatan, ahli kesehatan, dan penggiat pengendalian rokok di kawasan Asean.
“Saat kebanyakan negara telah meratifikasi konvensi WHO, negara yang belum (meratifikasi) bisa mendapat tekanan internasional, ” kata Koordinator Regional WHO untuk progam Tobacco FreeInitiative Burke Fishburn.
Indonesia memang mendapat sorotan khusus peserta pertemuan. Maklum, saat negara lain terus merancang berbagai cara melindungi warganya dari bahaya rokok, Indonesia malah mengeluarkan aturan yang mereka nilai sangat menguntungkan industri rokok.
Menurut Fishburn, WHO akan terus mendorong negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, untuk menerapkan kebijakan kawasan 100 persen bebas rokok di tempat-tempat umum. Organisasi kesehatan dunia ini juga akan mendukung pengendalian rokok melalui peningkatan pajak dan pembatasan pemasaran.
“Apapun yang terjadi, sebagian orang memang akan terus merokok. Tapi, orang yang tidak merokok harus dilindungi, ” ungkap Fishburn.
Berdasarkan data WHO, di kawasan Asean saat ini ada 124 juta orang dewasa yang merokok. Dari jumlah itu, sebanyak 46 persenya berada di Indonesia.
Direktur Southeast Asia Tobacco Control Aliance, Bungon Ritthipakdae, mengatakan selain akan terus melobi pemerintah dan parlemen, organisasi internasional akan menyokong kelompok-kelompok pengendalian rokok di Indonesia.
“Kami menerapkan dua pendekatan sekaligus, menekan (pemerintah) dan mendukung kelompok pro (pengendalian rokok), ” ujar Bungon.
Meski belum meratifikasi FCTC, Presiden BJ Habibie telah mengeluarkan peraturan pemerintah yang cukup ketat soal pengendalian rokok. Peraturan itu, misalnya, melarang perusahaan rokok beriklan di media massa, baik cetak maupun elektronik. pemerintah itu pun mewajikan perusahaan rokok mencantumkan kandungan zat berbahaya dalam kemasan rokoknya.
Namun, di zaman Megawati Soekarnoputri justru mencabut larangan perusahaan rokok beriklan di media cetak dan elektronik. Meski peraturan pengganti masih mewajibkan perusahaan rokok memeriksakan kandungan zat berbahaya kepada lembaga yang terakreditasi, tapi tidak mengatur teknis pemeriksaan dan batas waktunya.
Majelis Ulama Indonesia hingga saat ini belum berani mengeluarkan larangan atau fatwa haram bagi rokok, padahal dari sisi kesehatan merokok lebih banyak mudharatnya. Sementara, Islam mengajarkan agar meninggal hal-hal yang lebih banyak mudharat ketimbang manfaatnya.(novel/tnr)