Eramuslim – Konsep reforma agraria pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan membagi-bagikan sertifikat tanah kepada para petani kecil dinilai kurang tepat.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan semestinya reforma agraria dilakukan dengan mendistribusikan aset, bukan sekedar membagi-bagikan sertifikat tanah.
“Reforma agraria secara konsep dan prakteknya agak kurang nyambung,” tegasnya saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL, Rabu (28/3).
Menurut Bhima, seharusnya reforma agraria dilakukan seperti konsep yang dilakukan oleh Federal Land Development Authority (FELDA) milik Malaysia yang memberdayakan petani-petani miskin untuk menggarap lahan milik pemerintah.
Hal itu kata dia sebenarnya sudah dipraktekkan di pertanian dalam negeri. Contoh paling konkret adalah sistem plasma sebagaimana yang biasa terjadi di perkebunan kelapa sawit.
“Kalau di perkebunan kelapa sawit itu 20 persen lahan kelapa sawit itu harus dikelola oleh petani atau rakyat. Kita ingin perkebunan skema itu juga bisa dipraktekkan di komoditas lainnya, sehingga reforma agraria tadi keberlanjutannya jelas, barangnya mudah dipasarkan dan petani ada peningkatan kesejahteraan karena itu. Kalau bagi-bagi sertifikat, peningkatan kesejahteraannya dimana,” urainya.
Konsep yang digunakan oleh pemerintah pusat justru dikhawatirkan bakal menyebabkan para petani miskin semakin miskin. Pasalnya, tidak mungkin saat kesusahan, para petani tidak mengagunkan sertifikat tanah untuk meminjam duit.