Eramuslim.com – Kantor berita Antara mengutip pendapat Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menilai tukar rupiah berpotensi mencapai level Rp 14.000 per dolar AS pada Juni 2015.
“Ada (potensi mencapai Rp14.000 per dolar AS). Bisa jadi di kisaran bulan-bulan (Juni) ini. Pertama, langkah antisipasi terhadap pelemahan rupiah ini memang tidak ada. Kedua, permintaan jangka pendek (atas dolar) di mana jatuh temponya di pertengahan juni,” ujar Enny di Jakarta, Kamis (11/6) kemarin.
Menurut Enny, mengatasi depresiasi rupiah tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia semata. Pemerintah yang mengurusi sektor fiskal harus bekerja keras dan memiliki upaya terobosan yang konkret.
“Secara normatif ya menggerakkan ekspor, tapi minimal ada upaya misalnya pengaturan dari devisa hasil ekspor kita. Tentu yang paling berperan tidak hanya pengaturan administrasinya di Bank Indonesia saja tapi bagaimana pemerintah memberikan suatu kepercayaan kepada pemilik dana untuk menempatkan devisa hasil ekspornya di Indonesia” ujar Enny.
Selain itu, saat ini produksi komoditas dan migas di dalam negeri yang anjlok juga dapat memberikan kontribusi terhadap pelemahan rupiah di mana neraca perdagangan dapat kembali defisit.
Ia menambahkan, permintaan dolar di pasar valas memang meningkat sejak Mei 2015 lalu dan itu juga turut memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Terkait realisasi proyek infrastruktur pemerintah, investor juga perlu diyakinkan bahwa proyek-proyek tersebut dapat berjalan dengan baik dan berkelanjutan sehingga menimbulkan sentimen positif.
“Jangan sampai para investor itu menyatakan, lho kok ini hanya sekedar groundbreaking terus rencana masterplan detailnya seperti apa, kan ini tidak memberikan kepastian buat mereka. Nah ini kan bisa surut lagi kepercayaan mereka dan itu justru bisa menimbulkan distrust,” ujar Enny.
Namun Enny mengatakan, persoalan struktural dari pelemahan rupiah ini adalah terkait neraca pembayaran. Ia menilai, selama neraca pembayaran masih defisit, sangat sulit untuk menjamin adanya stabilisasi pasokan dan permintaan dolar.
“Tapi minimal kalau pemerintah bisa meyakinkan tidak ada langkah-langkah spekulatif, rupiah masih bisa ditahan di kisaran Rp 13.000 per dolar AS, namun kalau berharap di bawah itu memang sangat sulit,” pungkasnya.
Ini gejala yang sangat jelas Jokowi bakal klenger. Tak mampu lagi berkutik, situasi ekonomi global tidak bisa lagi disogok seperti aktifis mahasiswa diajak makan di Istana.
Menkeu DR.Sumantri Bambang Brojonegoro, sudah mengeluh eksport Indonesia bakal nyungsep, akibat kenaikan bunga oleh The FED (Bank Sentral AS). Duit pada lari berbondong-bondong balik ke Amerika. Sehingga, berdampak kepada eksport Indonesia.
Ekonomi Indonesia nasibnya seperti tukang becak yang mati saat Jokowi mengawinkan anaknya Gibran, karena kelelahan. Jokowi penginnya citra, tapi yang didapat tukang beca mati dan pingsan, persis seperti ekonomi Indonesia.(rz)