Ikhsan mengatakan, kita semua faham tidak semua UKM menggunakan bahan produksi yang termasuk kategori positif list seperti bahan-bahan alam misal beras, tepung ketela, sagu. Tetapi banyak UKM yang menggunakan bahan utamanya dari daging, margarin, roombutter dan bahan penolong serta bahan artifisial yang memiliki titik kritis tinggi yang masih harus ditracing kehalalannya.
“Bila hanya dengan halal self declare, maka akan menjadi tidak jelas kehalalannya,” katanya.
Dan yang menjadi persoalan utama, halal itu bukan masalah perizinan yang dalam Omnibus Law dimasukan di dalam kluster perizinan dan kemudahan berusaha. Tetapi halal itu adalah Hukum syariah (Islam) yang menjadi domain dan kewenangan Ulama.
Kehalalan produk tidak hanya didekati dengan ilmu fiqih tapi juga dengan teknologi, karena di masa kini perkembangan teknologi pangan olahan sudah begitu mutahir yang dapat menjadikan tidak jelas lagi produk yang halal dan yang tidak. Oleh karenanya tetap diperlukan pemeriksaan atas suatu produk sebelum dilakukan penetapan fatwa oleh MUI.
“Jadi halal self declare tidak sejalan dengan maqosid syariah, di samping tidak sesuai prinsip perlindungan konsumen yang menjadi tujuan utama,” katanya. (Rol)