Dana serap masyarakat sebesar Rp 31, 5 juta yang diterima tiap anggota DPR dapat dikategorikan sebagai korupsi berjama’ah. Selain, laporan pertanggungjawabannya tidak bisa transparan, juga rawan penyimpangan.
“Kalau anggaran dana serap itu kemudian untuk digunakan memperkaya diri, maka itu termasuk korupsi. Karena itu harus diusut,” ujar Koordinator Indoneswia Coruption Wacth (ICW) Bidang Korupsi Ibrahim Fahmi Bado di sela-sela dialektika demokrasi yang bertajuk “ Kontroversi Dana Serap Aspirasi Masyarakat” di gedung DPR, Jakarta, Jum’at (28/7).
Dijelaskannya, semula pihak menyambut baik ada program serap aspirasi masyarakat. Sebab, daripada membuat tembok pagar yang menelan biaya miliaran rupiah, tentu DPR lebih baik memanfaatkan dana itu untuk kegiatan DPR menyerap aspirasi masyarakat.
Tapi, katanya, praktek di lapangan penggunaan dana tersebut sulit dipertanggungjawabkan penggunaannya. Para anggota Dewan selama ini tidak memiliki tata administrasi yang baik dalam mencatat kegiatannya.
Ia menambahkan, sebelum muncul program serap aspirasi masyakat sebenarnya anggota DPR telah mendapatkan tunjangan komunikasi dengan masyakat atau konstituen yang besarannya sudah masuk dalam take home pay.
Di tempat yang sama, anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Baharuddin Aritonang menyatakan, dana serap aspirasi ini perlu diaudit lebih lanjut, mengingat pelaporan kegiatan tersebut kurang jelas. “Ini perlu diperiksa. Tapi, kalau nanti BPK memeriksa dan hasilnya juga diserahkan ke DPR. Ini yang repot,” katanya.
Baharuddin, yang juga mantan anggota DPR itu mengakui, penyerapan aspirasi masyakat diperlukan. Tapi, soal pertanggungjawaban kegiatan anggota DPR memang sulit dilaporkan secara detail. (dina)