Indonesian Corruption Watch (ICW) berharap perjanjian ekstradisi antara Pemerintah RI dan Singapura bisa menjadi dasar hukum kuat untuk memulangkan para koruptor ke Indonesia. Karena itu, dalam isi perjanjian itu harus jelas dicantumkan tindak pidana korupsi.
"Perjanjian ekstradisi harus jelas di atas kertas dengan mencantumkan pidana korupsi sebagai salah satu butirnya, " ujar Koordinator Monitoring Indonesian Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho kepada pers di Jakarta, Kamis (26/4).
Ia mengatakan, jika Kejaksaan Agung menyebut ada 12 buronan kasus korupsi yang kabur ke Singapura, ICW menyebut ada 17 buronan yang diduga koruptor berada di Singapura. Jumlah itu bisa bertambah, karena saat ini ada 40 tersangka korupsi yang buron.
Ke-17 orang yang diduga korupsi dan diperkirakan masih berada di Singapura antara lain Sjamsul Nursalim, kasus BDNI dengan kerugian negara Rp6, 9 triliun dan US$ 96, 7 juta, Bambang Sutrisno, kasus Bank Surya dengan kerugian negara Rp1, 5 triliun, Adrian Kiki Irawan, kasus Bank Surya dengan kerugian negara Rp1, 5 triliun.
David Nusa Wijaya, kasus Bank Sertivia dengan kerugian negara Rp1, 26 triliun, Samadikun Hartono, kasus Bank Modern dengan kerugian negara Rp169 miliar, Agus Anwar, kasus Bank Pelita kerugian negara Rp1, 9 triliun, Irawan Salim, kasus Bank Global kerugian negara US$ 500 ribu.
Sudjiono Timan, kasus BPUI kerugian negara US$ 126 juta, mantan direktur dan komisaris PT MBG, yaitu SH, HH, TS, GS, dan TWJ dalam kasus BPPN dengan kerugian negara Rp60 miliar, Hartono Tjahjadjaja, kasus BRI Senen kerugian negara Rp180 miliar, Nader Taher, kasus Bank Mandiri kerugian negara Rp24, 8 miliar, Maria Pauline Lumowa, kasus BNI kerugian negara Rp 1, 9 triliun dan Atang Latief, kasus Bank Bira dengan kerugian negara Rp 155 miliar.
Menurut ICW, daftar koruptor itu diperkirakan akan terus bertambah, karena masih ada puluhan tersangka koruptor yang kabur ke luar negeri. "Kita belum tahu data pastinya, tetapi yang jelas dalam hitungan kita ada 40-an yang kabur. Mereka kabur bisa ke Singapura atau negara lainnya, " ujarnya.
Oleh karena itu, harapnya, perjanjian tidak lagi sekedar perjanjian di atas kertas, namun ada implementasi yang kuat dari pemerintah Singapura untuk memulangkan mereka. "Harus ada tekanan kuat dari pemerintah Indonesia. Tidak hanya tekanan larangan pasir saja, " katanya.
Menurutnya, Singapura sangat berkepentingan melindungi para koruptor itu, mengingat investasi para koruptor tersebut cukup besar di sana. "Semoga tekanan soal pasir bisa membuka mata Singapura. Kita ingin korupsi tak cuma ditindak, aset-aset yang hilang juga bisa kita recovery, " sambung dia. (dina)