Contoh lain yang disinggung Basarah adalah megaproyek kompleks Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Bukit Hambalang. Itu merupakan program utama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kini mangkrak lantaran kasus dugaan korupsi dalam pembangunan kompleks tersebut.
“Kita gak tahu nanti presiden terpilih mau bikin apa. Tiba-tiba Pak Jokowi memindakan ibu kota kita kaget-kaget karena di visi misinya tidak ada. Apakah itu dilarang? Tidak. Karena UU SPPN tidak melarang itu. Oleh karena itu, kita harus punya perencanaan pembangunan yang jelas, maka payung hukum pembangunan nasional jangka menengah dan jangka panjang itu dituangkan dalam satu payung hukum konstitusi dijabarkan dalam satu ketetapan MPR sehingga mengikat,” ujar Basarah.
“Sehingga ke depan, siapapun capres, gubernur, bupati dan wali kota, boleh mengajukan visi misi varian pembangunan, tapi road map pembangunan nasional, hal-hal fundamental ini tidak boleh mereka ganti seenaknya. Ini yang menjadi pokok-pokok pikiran kami,” lanjutnya.
Hal senada disampaikan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo. Menurut dia, pemindahan ibu kota yang digagas oleh Jokowi bukan tidak mungkin digagalkan oleh siapapun yang kelak terpilih sebagai presiden. Oleh karena itu, lanjut Bambang, program-program unggulan itu perlu dituangkan dalam Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
“Sebetulnya PPHN tidak detail, tidak memasung kreativitas presiden lewat visi misinya. Kita bisa belajar dari rencana jangka panjang China, Singapura, kita bisa pelajari di situ. Nggak detail tapi jelas target-targetnya. Pembangunan ekonomi, kebijakannya bagaimana, hukumnya, sumber daya manusianya dan seterusnya. Intinya kita menawarkan kepada kita semua bahwa kita perlu peta jalan atau arah bintang yang jelas bagi bangsa ini agar tidak menari poco-poco terus,” kata Bamsoet sapaan akrab Bambang Soesatyo itu. [ljc]