Wakil Ketua Komisi IV DPR Fachri Andi Leluasa menyatakan, pemerintah sulit memberantas illegal logging karena mata rantainya cukup banyak. Dan di antara 11 mata rantai yang ada itu bahkan sampai melibatkan menteri dan pejabat tinggi negara yang lain. Selama ini kayu-kayu illegal tersebut dikirim ke Cina atau Malaysia. Di kedua negara ini kayu tersebut dijadikan barang jadi (loundry) untuk kemudian di ekspor ke Eropa dan Amerika.
“Hanya Inggris yang menolak ekspor itu karena mereka tahu, kayunya dari illegal logging. Praktek ini merugikan negara hingga Rp 40 triliun per tahun,” ujar Fachri di Gedung MPR/DPR RI Jakarta, Kamis (9/11).
Ia menegaskan, Menteri Kehutanan (Menhut), kepolisian, dan aparat Pemda dalam menangani illegal loging koordinasinya belum baik. Padahal UU-nya pun sudah dianilai cukup. Misalnya, sudah terbit UU No.41/1999, PP Nomor 28/1985, UU Pokok Agraria 1960 dll. “Sekarang ini mau menangkap dan menegakkan hukum atau tidak? Itu saja yang perlu dipertegas,” papar dia.
Sementara itu, anggota Komisi III Popung Haris mengungkapkan, di masa Kapolri dijabat oleh Da’i Bachtiar, ada pelaku illegal logging bermodalkan Rp 12 miliar, dan berhasil meraup untung Rp 2 triliun. “Kami mempunyai bukti-bukti ini. Jadi, betapa parahnya sindikat pembalakan kayu liar ini. Sementara masyarakat di daerah banyak yang tidak tahu kalau menebang pohon di hutan itu harus pakai izin,” tambahnya.
Rudi Satrio, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia menjelaskan, yang paling mengetahui kondisi hutan berikut aktifitas illegal logging tersebut adalah PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil). Ia mengatakan, dalam menjalankan tugasnya di hutan seharusnya di-back up agar mampu menjalankan tugasnya untuk melindungi hutan. “Kalau mereka ini sarana dan prasarananya tidak memadai, senjatanya kuno, kendaraannya tidak layak, dan sudah tua-tua, maka sulit menghadapi cukong dan masyarakat yang justru lebih kuat,” sarannya.
Selain itu, ia meminta proses penegakan illegal loging itu tidak perlu sampai ke pengadilan, karena barang-buktinya sudah jelas. Yaitu kayu yang diangkut dari hutan, sehingga sanksi hukumnya harus pidana, bukan perdata atau sanksi administratif. Kalau melalui pengadilan katanya, paling-paling yang dihukum sopir truknya dan penebangnya, sedangkan cukongnya lolos. (dina)