Human Rights Watch melakukan tekanan terhadap pemerintah Indonesia, di mana organisasi internasional itu menekan pemerintah, khususnya kepada Presiden SBY untuk membatalkan undang-undang ‘qanun’ yang telah berlaku di Aceh. Tindakan ini merupakan bentuk campur tangan yang tidak dapat diterima.
Sebab, lahirnya ‘Qanun’ yang sekarang diterapkan di Aceh, memiliki landasan yang kuat, yaitu Undang-Undang No.18/Tahun 2001, tentang Otonomi Khusus Aceh, dan telah disyahkan DPR-RI, yang mengatur kehidupan di Aceh.
Menurut Human Rights Watch Peraturan Daerah Syariat Islam di Aceh melanggar hak asasi manusia. Qanun di Aceh mendiskriminasi perempuan dan membuka peluang terjadinya kekerasan massal dengan dalih menegakkan syariat Islam.
Laporan yang disusun Christen Broecker, peneliti Divisi Asia Human Rights Watch, menyoroti Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (mesum) dan Qanun Nomor 11/2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam dalam Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam.
Christen Broecker menyertakan beberapa kasus kekerasan oleh masyarakat akibat pemberlakuan aturan ini. Berdalih menegakkan syariat Islam, masyarakat dapat “menghukum” orang yang diduga melakukan pelanggaran.
Dalam laporan yang dimuat di www.hrw.org, Rohani menjadi saksi penganiayaan Budi, pacar anaknya, oleh warga kampung karena dituduh melakukan “perbuatan bersunyi-sunyian”.
Awal Januari lalu, seorang perempuan ditahan karena tuduhan melakukan perbuatan bersunyi-sunyi. Inilah kutipan testimoninya kepada HRW: "Ibuku datang untuk menjemputku (dari kantor polisi Syariah) pada pukul 07.00. Aku menangis. Dekan kampusku, Doni, ada di sana untuk menguliahiku. Seorang polisi Syariah memberi tahunya bahwa aku ditangkap (di jalan sepi, dibonceng dengan sepeda motor oleh pacarku). Dia memberi tahu ibuku dan aku bahwa aku harusnya dilempari batu sampai mati. Aku berkata, ‘Pak, Saya hanya mencoba mencari jalan pintas, dan saya harus dilempari batu karenanya?
HRW mencatat tak hanya polisi syariah, anggota masyarakat juga ikut mengidentifikasi, menangkap dan menghukum tersangka atas inisiatif sendiri yang memang diperkenankan dalam aturan syariah. Dalam beberapa kasus, partisipasi masyarakat dalam menegakkan aturan ini dilakukan dengan menyerang tersangka, memukuli mereka, dan membakar mereka dengan rokok saat proses penahanan. Polisi Syariah juga terkadang memaksa para perempuan untuk memberikan hasil pemerikasaan keperawanan sebagai bagian dari penyelidikan.
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, KOMNAS Perempuan Andy Yentriyeni mengakui ada banyak laporan yang masuk mengenai nasib perempuan yang dituduh melanggar larangan "perbuatan bersunyi-sunyi".
Budi ditangkap warga ketika akan meninggalkan rumah Rohani, 2009 lalu. Budi dipukuli sekitar 50 orang dan dipaksa menikah dengan Sri, anak Rohani. Polisi Syariah menahan Budi dan Sri satu malam untuk penyelidikan.
Warga kampung juga memaksa Rohani membayar denda sebagai hukuman kesalahan putrinya. Rohani membayar denda tersebut, namun tidak satupun warga kampung yang menganiaya Budi dimintai pertanggungjawaban, ungkap Human Rights Watch.
Laporan ini disusun melalui penelitian di Banda Aceh, Bireuen, Lhokseumawe, Langsa, dan Meulaboh, bulan April dan Mei 2010. Human Rights Watch juga mewawancarai lebih dari 80 orang, termasuk 11 perempuan dan seorang perempuan transjender yang menjadi korban penerapan Qonun Syariah di Aceh.
Benarkah semua laporan Human Right Watch itu? Sebenarnya diberlakukan Qanun Syariah itu, justru di Aceh sekarang telah lebih baik kondisinya, dan semakin aman, serta kehidupan moral masyarakat menjadi terjaga.
Tuntutan Human Rights Watch itu justru akan menciptakan kekacauan yang mengarah kepada kehancuran kehidupan di Aceh, karena dengan melonggarkan kehidupan, dan dibiarkannya kehidupan yang bebas, maka Aceh akan seperti daerah-daerah lainnya.
Sekarang di kota-kota besar di seluruh Indonesia telah dijangkiti penyakit sosial, berupa penyakit moral, akibat adanya pelanggaran moral. Seperti melakukan zina, minum, pacaran dengan bebas, yang mengarah sek bebas, munculnya gigolo, serta praktek-praktek pelacuran yang ada setiap sudut kota.
Sejarah, sejak pertama Republik ini lahir, Aceh telah diterapkan otonomi khusus, yaitu adanya syariah Islam, seperti yang menjadi aspirasi rakyat Aceh. Ini merupakan bentuk ‘obligasi’ (perjanjian) antara pemerintah pusat yang waktu dipimpin Presiden Soekarno dengan para pemimpin Aceh. Kemudian, dilanjutkan di zaman Reformasi dengan dituangkan undang-undang otonomi khusus, yaitu UU No 18/200i. Inilah sebuah ‘obligasi’ pusat dengan daerah.
Lalu, kalau dicabut atau dibatalkan, berarti ini sebuah pelanggaran, yang akan merusak hubungan pusat dan daerah. Adakah pemerintah Indonesia akan tunduk dengan tekanan asing?(md/berbagai sumber)