Eramuslim.com – Sekjen Sekretariat Bersama (Sekber) Indonesia yang dihuni Gerindra-PKS-PAN, Muhamad Idrus menyebut Habib Rizieq Syihab meminta agar pilpres 2019 hanya diikuti 2 poros, yakni poros Mekah dan poros Beijing. Golkar mengkritik keberadaan saran dari Habib Rizieq tersebut.
“Jangan ngarang deh. Ini masih suasana lebaran. Seharusnya ciptakan suasana kesejukan dan persaudaraan sesama anak bangsa,” kata Ketua DPP Golkar, Ace Hasan Syadzily kepada detikcom, Minggu (17/6/2018).
Ia mempertanyakan kenapa menamakan koalisi harus menggunakan nama kota atau negara lain. Menurutnya politik Indonesia tak ada urusannya dengan negara lain.
“Mengapa koalisi harus menamakan negara atau kota lain? Jangan menggunakan simbol koalisi menggunakan kotadari negara lain. Politik Indonesia tidak ada urusannya dengan negara lain,” ucapnya.
Selain itu, Ace juga menyoroti soal istilah poros Beijing yang diidentikkan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena dinilai pro kebijakan Presiden China, Xi Jinping. Ia mengatakan Arab Saudi punya investasi lebih besar di China dibanding Indonesia.
“Lha wong Arab Saudi saja investasi di negara China Rp 870 triliun jauh di atas Indonesia yang hanya Rp 89 triliun. Jangan menggunakan istilah-istilah yang mengasosiasikan pemerintahan Jokowi yang tendesius. Terus mengidentifikasi dirinya paling Islami,” ujar Ace.
Sebelumnya, Idrus mengatakan poros Mekah merupakan poros keumatan yang tetap konsisten mengusung agenda umat. Poros ini mengaku tak akan mengkriminalisasi agama.
“Obrolan dengan Habib Rizieq dengan Sekber ke depan pilpres 2019 hanya ada 2 poros yang bertarung dimana Poros Keumatan tetap konsisten mengusung agenda umat di mana tidak akan mengkriminalisasi Agama, memenjarakan ulama serta mencurigai rakyat layaknya PKI yang dipresentasikan dengan Poros Mekkah melawan Poros Beijing,” ujar Idrus kepada detikcom, Sabtu (16/6) malam.
“Poros Beijing di mana rezim Jokowi hari ini yang lebih dekat kebijakan Presiden RRC Xi Jinping One Belt One Road (OBOR), serbuan tenaga kerja asing dari Tiongkok serta meningkatnya hutang negara yang lebih Rp 5.000 Triliun sebagian besar dari China,” sambungnya. [detik]