Perbedaan proses penentuan awal Ramadhan dan 1 Syawal yang
terjadi pada Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah itu tidak dialami oleh Hizbut Tahrir, pasalnya ormas Islam ini memegang patokan rukyat global, dalam artian tidak harus melihat bulan di dalam negeri saja.
"Ketika Rasulullah mengatakan ‘berpuasalah dengan melihat
bulan, dan berbukalah ketika terlihat bulan, itu perintah kepada seluruh umat Islam yang dhamirnya jamak dalam memulai dan mengakhiri puasa, siapapun umat Islam dari seluruh dunia bisa melihatnya, "jelas Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia M. Ismail Yusanto usai buka puasa bersama, di Kawasan Taman Ria Senayan, Jakarta, Kamis malam.
Menurutnya, dengan menggunakan dalil yang berlaku untuk semua umat Islam itu, Hizbut Tahrir tidak memutlakkan bulan itu harus tampak di Indonesia.
Karena itu, lanjut Ismail, pihaknya selalu menjalin jaringan dengan umat Islam di dunia, dan begitu terdengar disalah satu wilayah baik itu di Pakistan, Arab Saudi, Mesir ataupun Maroko sudah terlihat bulan, maka dengan chanel komunikasi akan disebar keseluruh kadernya di daerah.
"Begitu kami mendengar, kami punya chanel-chanel komunikasi, baik melalui berita diinternet, maupun via pesan singkat disampaikan kepada kader diseluruh Indonesia, itu metode yang selama ini kita pakai, "ungkapnya.
Ia menambahkan, penentuan awal maupun akhir Ramadhan dari fakta itu tidak berhubungan dengan negara, karena itu murni merupakan faktor geografis, sehingga kalau dipaksakan untuk mengikuti batasan negara banyak hal yang tidak pas.
Ismail mengaku prihatin dengan perbedaan penentuan tersebut, karena umat Islam di tanah air pada penentuan akhir Ramadhan harus berbeda-beda. "Ada anekdot, disaat orang lain sudah injak-injak bulan, kita masih melihat bulan yang berbeda-beda, "sentilnya.
Untuk mencegah hal ini terus berkepanjangan, Ismail menyatakan, pemerintah harus mampu bekerjasama dengan pemerintah negara Islam lainnya, dalam menetukan awal dan akhir Ramadhan.(novel)