Ketua MPR Hidayat Nurwahid menjelaskan ada tiga Tap MPR yakni Tap Nomor XI/1998, Tap MPR VIII/2001, dan Tap MPR I/2003 yang masih berlaku hingga sekarang. Tapi sayangnya banyak kalangan kurang memahami tap-tap tersebut.
"Banyak orang ingin mengaburkan ketiga Tap tersebut sudah tidak berlaku karena terbitnya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3)," jelas Hidayat saat menerima 20 perwakilan Aliansi Masyarakat Adili Soeharto di Gedung MPR, Jakarta, Selasa (23/5).
Dijelaskannya, Tap MPR XI/1998 belum dilaksanakan. "Tap MPR berbeda dengan SKP3. Jadi terbitnya SKP3 dari jaksa agung tidak menghapus tap itu. Jadi SKP3 produk hukum jaksa agung," tegas dia.
Ia menambahkan, dengan diterbitkannya SKP3, artinya jaksa agung membuat terobosan hukum yang baru karena orang sakit tidak memenuhi persyaratan diterbitkannya SKP3. "Kenapa jaksa agung tidak melakukan terobosan hukum yang lain dengan mengadili Soeharto secara in absentia," tanyanya.
Oleh karena itu, dirinya tidak sependapat dengan sikap sebagian pejabat negara yang meminta mantan Presiden Soeharto dimaafkan.
"Tidak benar kalau MPR termasuk saya pribadi sebagai bagian dari koor pejabat negara yang minta pengampunan untuk Pak Harto. Saya tidak pernah punya utang budi pada Orba, saya tidak pernah jadi pegawai negeri sipil (PNS), dan saya tidak pernah diberi uang oleh Soeharto," tegas dia.
Berkaitan dengan hal tersebut, Hidayat menyatakan, MPR akan menyosialisasikan kepada pemerintah yang berwenang bahwa Tap tersebut belum dicabut. "Masalah hukum tidak dapat dikesampingkan dengan alasan kemanusiaan. Sebagai pribadi boleh kita memaafkan Soeharto," tegas mantan Presiden PKS.
Turut hadir dalam pertemuan itu PBHI, Kontras, Imparsial, YLBHI, dan Transparansi Internasional untuk Indonesia. Mereka meminta Soeharto diadili dan seluruh hartanya disita oleh negara. (dina)