Ketua MPR RI Hidayat Nurwahid meminta agar kepolisian khususnya Densus 88 dapat bertindak lebih profesional dalam menangani kasus Poso, sehingga tidak menimbulkan korban yang berasal dari warga sipil.
"Hukum memang harus ditegakkan tetapi tidak dengan kekerasan, polri harus lebih berwibawa, bersabar, dan bermartabat, serta bisa lebih elegan dalam menjalankan tugasnya, " ujarnya kepada wartawan, di Gedung DPR/MPRRI, Jakarta, Rabu (24/1).
Ia menyatakan, keprihatinan atas jatuhnya korban dari warga sipil akibat baku tembak saat penggerebekan DPO kasus Poso Senin lalu. Karenanya, Ia meminta agar Densus 88 Polri ditarik dari Poso terlebih dahulu untuk menghindari perlawanan dari warga yang merasa menjadi korban.
Lebih lanjut Hidayat menegaskan, pendekatan dengan cara-cara kekerasan yang dipakai dalam penanganan masalah di Poso, Sulawesi Tengah hanya akan menimbulkan amarah dari warga sekitar, dan tidak akan menyelesaikan persoalan yang sudah terjadi berlarut-larut.
"Jelas kami sangat menolak bentuk kekerasan dan cara-cara terorisme termasuk melukai warga sipil, " imbuhnya.
Ia menyatakan, untuk penyelesaian konflik di Poso mediator dari luar negeri tidak dibutuhkan, sebab hal ini menyangkut masalah dalam negeri, selain itu juga di dalam negeri masih banyak tokoh-tokoh baik tokoh muslim, kristiani, dan kelompok nasionalis yang bisa dimintai pendapatnya, dalam rangka urun rembuk menyelesaikan kasus Poso.
Berbeda dengan Hidayat Nurwahid, Wakil Ketua MPRRI Aksa Mahmud mendukung upaya yang dilakukan oleh aparat kepolisian untuk terus melakukan pencarian terhadap DPO kasus kerusuhan Poso.
Menurutnya, Poso saat ini sudah berbeda dengan yang dulu, karena permasalahan bukan lagi menyangkut konflik agama tetapi menyangkut terorisme.
"Kalau warga sipil memiliki senjata, amunisi, apalagi memiliki misi tertentu, apa itu namanya kalau bukan disebut teroris, " tukasnya.
Agar tidak jatuh korban saat penangkapan DPO, Ia meminta warga sipil diminta melapor kepada aparat kepolisian jika ada orang-orang yang dianggap mencugikan. (novel)