Jika penanganannya tidak bagus maka akan terbentuk senyawa oksidasi. Total oksidasi ini menjadi patokan kelayakan minyak ikan tersebut. Harus sesuai standard Badan Kesehatan Dunia (WHO), kalau lebih dari standard maka tidak layak dikonsumsi karena karsinogenik.
Sementara itu, minyak ikan lokal yang dijual untuk pakan ternak juga memiliki kandungan omega 3 yang tidak jelas.
Minyak ikan untuk pakan yang diklaim minyak sardin dikatakan mengandung omega 3 di atas 15 persen, padahal aslinya hanya 8 persen. Biasanya mereka mencampurnya dengan minyak jelantah.
Sementara itu, kurangnya inovasi dan teknologi pengolahan minyak ikan lokal membuat Indonesia kehilangan potensi senilai 3,8 milyar rupiah per bulan. Pengembangan minyak ikan produksi dalam negeri paling banyak digunakan sebagai pakan.
Penggunaan minyak ikan dalam negeri 90 persen untuk pakan, 10 persen pangan biasanya menggunakan ikan cucut yang tinggi kandungan squalennya (anti kanker).
Untuk itu Prof Sugeng dan tim mengembangkan formula terbaik dalam mengolah ikan untuk diambil omega 3. Dari satu kilo ikan seharga 20 ribu rupiah, dengan menggunakan formula ini, Prof Sugeng bisa menghasilkan minyak ikan senilai Rp 24 juta rupiah.(kl/ts)