Bandingkan dengan prevalensi perokok di Filipina sebesar 13,5 persen, Vietnam 12,7 persen, Thailand 8,9 persen, Myanmar 5,1 persen, Malaysia 4,07 persen Kamboja 1,4 persen, Laos 0,67 persen, Singapura 0,3 persen dan Brunei Darussalam 0,06 persen.
Harga rokok di Indonesia setelah kenaikan cukai 10 persen tahun ini, berkisar dari Rp12.600 hingga Rp23 ribu. Angka yang sangat terjangkau, apalagi ada kebiasaan masyarakat membeli dengan cara “ketengan” atau per batang sehingga rokok menjadi sangat murah dan mudah didapatkan bahkan oleh anak sekolah. Mereka cukup mengeluarkan uang Rp1.000-1.500 dan sudah bisa menikmati sebatang rokok.
Rokok di Indonesia juga bebas dipajang di mana pun, pada titik-titik strategis yang paling mudah diakses masyarakat. Rokok bahkan dipajang bersebelahan dengan makanan ringan yang menjadi kegemaran anak-anak.
Iklan rokok bertebaran yang dibuat dengan standar tinggi dan berbiaya mahal bertebaran di mana-mana, baik di media cetak maupun elektronik, dalam ruangan maupun luar ruangan. Baliho-baliho berukuran raksasa yang memberi keberanian dan kegagahan perokok dipasang di jalan-jalan, di depan rumah sakit bahkan di depan sekolah.
Kepungan faktor-faktor ini menjadikan lebih dari 32 persen siswa di Indonesia sudah merokok sebelum mencapai umur 13 tahun. “Mereka juga terekspos rokok oleh orang tua mereka dan orang dewasa di sekitarnya,” ujar Menteri Nina.
Jeremias N Paul, Koordinator Ekonomi Unit Pengendalian Tembakau WHO sebelumnya pada workshop dengan jurnalis di sela-sela Appact12th, mengatakan pengenaan pajak yang tinggi bagi rokok merupakan semacam “win-win-win” solution bagi pencapaian Sustainable Development Goal (SDGs).