Shalawat Badar dan musik gambus meramaikan aksi unjuk rasa ribuan perajin tahu dan tempe di Gedung DPR, Jakarta, Senin(14/1). Mereka menuntut agar pemerintah mengendalikan harga kedelai yang melambung hingga mencapai 100 persen.
Sebelum mendatangi gedung parlemen, mereka menyampaikan aspirasinya di Istana Merdeka, Jakarta. Tuntutan lain yang diusungkan antaranya, agar pemerintah menciptakan stabilitas harga kacang kedelai, kurangi ketergantungan kedelai impor, dan canangkan satu juta hektar kebun kedelai.
Di Gedung DPR, sekitar 21 orang perwakilan peserta aksi unjuk rasa di terima oleh anggota Komisi VI DPR. Dalam audiensinya, Pengurus Dekopin Aep Syarifuddin menegaskan, kenaikan harga hingga mencapai 100 persen tidak relevan, bila dibandingkan dengan kenaikan harga di bursa kedelai Chicago, Amerika Serikat yang hanya berkisar pada 20-30 persen saja.
"Pemerintah dalam hal ini Bulog harus berperan sebagai menyeimbang, kenapa kedelai Indonesia bisa naik 3 kali lipat. Jangan diserahkan pada mekanisme pasar, kami memerlukan dukungan pemerintah untuk swasembada kedelai, "tukasnya.
Senada dengan itu, Pengurus Dekopin lainnya Mindo Sitorus meminta agar, pengendalian stock dan distribusi kedelai di tanah air tidak diserahkan begitu saja kepada swasta. Sehingga, bisa diprediksi sesuai kebutuhan.
Seperti dikatahui, kenaikan kedelai pada bulan Januari mencapai 7000 sampai 8000 rupai per kilogramnya, di mana sebelumnya berada dikisaran 3000 rupiah per kilogram.
Menanggapi tuntutan tersebut, Anggota Komisi VI DPR Ario Bimo menegaskan, kenaikan harga kedelai yang tidak terkendali ini sebagai cara berfikir pemerintah yang salah, dan cenderung berkiblat pada pasar bebas yang terkooptasi oleh kapitalisme global.
"Saya tidak terlalu optimis ini harga bisa terkendali, belajar dari kasus kenaikan minyak goreng saja, ini sebagai akibat cara berfikir yang salah, "tegasnya.
Karena itu, Ario mendukung aksi turun ke jalan sebagai bentuk tekanan kepada pemerintah untuk merubah kebijakannya, yang ingin melakukan liberalisasi pangan.(novel)