Penolakan Mahkamah Konstitusi terhadap permohonan uji materiil UU No. 1/1974 tentang perkawinan, yang menyangkut kemungkinan berpoligami masih menyisakan pertanyaan bagi pemohon uji materiil M. Insa, terutama menyangkut nasib anak-anak yang terlahir dari hasil poligami.
"Majelis hakim dalam putusannya tidak mempertimbangkan nasib anak-anak yang terlahir dari hasil poligami, nasib mereka akan terkatung-katung, nggak bisa sekolah, karena tidak punya akta kelahiran, "jelasnya usai persidangan, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu(3/10).
Ia menjelaskan, saat ini semua sekolah mensyaratkan akta kelahiran yang sah, sedangkan anak-anak hasil poligami tanpa izin isteri pertama atapun hakim, yang biasa disebut nikah siri ini, tidak bisa mendapatkan akta tersebut.
Menanggapi masalah itu, Kepala Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri Departemen Agama H. Mubarok menegaskan, semua permasalahan itu tentu ada jalan keluarnya, masalah akta dan hak waris anak bisa diselesaikan di pengadilan.
"Yang penting bisa menunjukan bahwa anak itu hasil pernikahannya, walaupun hanya nikah siri, "ujarnya.
Ia menjelaskan, untuk mendapatkan hak itu orang tua anak juga bisa menguatkan dengan menghadirkan saksi pernikahan di pengadilan. Selain itu, saat ini ilmu pengetahuan dan teknologi sudah berkembang pesat, sehingga untuk pembuktian hubungan darah dapat mudah dilakukan melalui test DNA.
Mubarok mengimbau agar tidak terjadi kesulitan pengurusan akta dan hak waris, sebaiknya warga negara mengikuti peratutan dan UU yang berlaku, sehingga hak dan kewajiban warga negara bisa terpenuhi. (novel)