“Sejak awal saya mengatakan, jauh-jauh hari, pemerintah dan DPR harus realistis bahwa biaya realnya adalah Rp 60 juta sampai Rp 65 juta, maka pemerintah bersama DPR harus merubah (BPIH), paling tidak Rp 40 juta, itu realistis,” ujarnya.
Menurut Syamsul, kalau sekarang dipaksakan menggunakan dana optimalisasi, maka terlalu besar penggunaan dana optimalisasinya. Kalau penggunaan dana optimalisasi terlalu besar atau dihabiskan, maka dampak buruknya di kemudian hari akan terjadi lonjakan yang luar biasa.
“Dampak buruknya nanti akan ditanggung oleh jamaah paling akhir. Nanti kasusnya sama dengan First Travel. Tapi kalau pemerintah uang pokoknya aman, sementara First Travel uang pokoknya hilang. Nanti kalau lama kelamaan pemerintah menggunakan uang pokok, maka bagaimana jadinya,” katanya.
Sekarang hasil dana optimalisasinya saja yang dipakai, padahal dana tersebut milik semua calon jamaah haji. Katakanlah BPKH memiliki Rp 5 triliun dari dana optimalisasi. Dana optimalisasi tersebut merupakan hak seluruh calon jamaah haji yang jumlahnya jutaan dan sedang antri.
“(Dana optimalisasi semua calon jamaah haji-Red) digunakan oleh orang yang mau berangkat itu saja sudah salah. Apalagi mau mengambil sisa dana optimalisasi tahun-tahun sebelumnya, itu kan milik jamaah yang belum berangkat,” ujarnya.
Syamsul menyampaikan, sisa dana optimalisasi memang ada, tapi tidak bisa digunakan karena sisa dana tersebut juga hak jamaah yang belum berangkat. Tahun ini menggunakan dana optimalisasi sebesar Rp 5 triliun dari BPKH.
“Penggunaan dana optimalisasi sebesar Rp 5 triliun sudah maksimal, walau sebenarnya tidak boleh menggunakan dana sebesar itu. Karena dana optimalisasi itu sebagiannya masih hak jamaah yang belum berangkat. Mereka punya hak walau pun kecil,” tandasnya. (rol/Ram)