Eramuslim.com – Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF-MUI) merupakan organisasi yang terus mendesak polri mengusut tuntas kasus penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama atau Ahok. Polri didesak segera memeriksa Ahok dan menetapkan sebagai tersangka.
Ketua GNPF-MUI, KH. Bachtiar Nasir mengatakan, GNPF-MUI telah mengeluarkan catatan hukum terkait kasus Ahok. Hal tersebut guna menjadi perhatian dan pertimbangan khusus bagi Bareskrim polri.
Bachtiar menjelaskan, dalam hukum pidana Pasal 156 (a) ‘menista’ dalam buku II bab xvi KUHP tidak perlu adanya “Animus in Juriandi” yaitu “niat untuk menghina” oleh Mahkamah Agung RI Perbuatan tersebut diartikan “dalam bentuk penghinaan” baca Mahkamah Agung RI No.37K/Kr/1957.21.12.1957 juncto no.71K/Kr/1973.14.7.1976.
“Hukum Pidana itu juga mengajarkan jika ada kejahatan (misdrijven) penegak hukum (baca a.I polisi/jaksa dll) dapat segera melakukan upaya preventif,” ujar Bachtiar dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Senin (24/10).
Menurut Bachtiar, tidak perlu menunggu munculnya akibat dari perbuatan. Penegak hukum wajib langsung bekerja ketika ancaman terhadap kepentingan hukum yang hendak dilindungi muncul. Seperti tindakan menghasut, penghujatan terhadap Tuhan.
Bahkan, Bachtiar melanjutkan, dalam hukum pidana Belanda tindak pidana penghujatan terhadap Tuhan, Jaksa tidak perlu membuktikan bahwa dalam kenyataannya ada perasaan Ketuhanan yang tersinggung (Ps.147 sub 1 Sr). Pasal 156 (a), menurut Bachtiar, merupakan delik formil.
Delik formil yang dilarang adalah perbutannya bukan dampaknya. “Pembuktian delik formil adalah semudah membuktikan telapak tangan itu lebih putih dari punggung tangan,” kata Bachtiar.
Bachtiar mengatakan, cukup dicari alat buktinya berupa saksi yang melihat sendiri atau mendengar sendiri bahwa pelaku melakukan perbuatan tersebut. Selain itu, bukti tertulis berupa jadwal Ahok di Kepulauan Seribu.
Hal itu guna membuktikan Ahok benar ada di Kepulauan Seribu. Pernyataan Majlis Ulama Indonsia (MUI) juga perlu untuk dijadikan sebagai alat bukti. Di samping itu, penyidik juga bisa mengambil keterangan ahli yaitu dari MUI untuk memperkuat pernyataannya tentang penghinaan Alquran dan ulama juga ahli bahasa.
“Petunjuk dalam kasus ini adalah rekaman video yang beredar,” jelasnya.
Lebih lanjut, Bachtiar menilai, tidak masuk akal jika KUHAP harus dikalahkan oleh Peraturan Kapolri (Perkap). Hal tersebut seperti yang disebutkan Kompolnas dan Humas Mabes Polri bahwa kasus Ahok diselesaikan berdasarkan Perkap.
Dengan begitu,Polri akan menunda kasus Ahok hingga pelaksanaan Pilkada serentak 2017 selesai. Menurut Bachtiar, hal tersebut tidak masuk akal karena dugaan penistaan agama oleh Ahok terjadi sebelum jadwal pilkada.
“Dengan demikian, yang berlaku adalah acontrario: Perkap yang harus mengalah kepada KUHAP. Jika acontrario maka, tak ada penundaan hukum,” tuturnya.
Jika Kapolri tetap melakukan penundaan proses hukum, itu artinya polri telah menjadi alat politik kekuasaan. Seharunya hukum yang lebih tinggi (KUHAP) mengalahkan yang lebih rendah (Perkap).
Bachtiar juga mencatat bahwa Kabareskrim menganggap materi laporan masih lemah dan perlu dikuatkan. Padahal, jika murni dalam rangka penegakan hukum maka pencarian bukti tersebut sudah dilakukan.
“Apabila proses pencarian bukti permulaan tersebut dibuat berbelit dan berputar-putar serta terkesan dilemahkan, maka sekali lagi kepercayaan masyarakat pada umumnya dan umat Islam pada khususnya kepada polri akan luntur. Hal ini mengakibatkan masyarakat mengambil jalan hukum sendiri,” kata Bachtiar.(ts/rol)