Gerindra: Rakyat Sendiri Banyak Yang Nganggur, Ngapain Permudah Pekerja Asing?

Dirinya mengaku, masuknya TKA ke Indonesia memang suatu keniscayaan di era Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan liberalisasi pasar ASEAN dengan China, serta meningkatnya investasi China di Indonesia di sektor pertambangan dan infrastruktur.

Hal itulah yang membuat Pemerintah merasa tak perlu khawatir atas keberadaan mereka. berdasarkan data resmi, jumlahnya dianggap masih kecil. Alasan Menaker, Hanif Dhakiri, paling lama bekerja 6 bulan dan tidak ada yang jadi buruh kasar.

Namun, Putih Sari melanjutkan, Pemerintah tak bisa hanya berdasar data resmi untuk membantah keberadaan banyaknya pekerja China. Karena kalau dasarnya yang mengurus ijin resmi di Kemenaker atau Dinas Imigrasi, pasti tidak akan mengkhawatirkan.

Faktanya, kata Putih Sari, terjadi berbagai pelanggaran terkait penyalahgunaan izin kerja mereka modusnya cantumkan posisi tenaga ahli, seperti Mechanical Engineering atau manajer Quality Control, meski kenyataannya tidak sesuai dan ilegal. Sebagian besar masuk pake visa turis secara berkelompok. Begitu ada kesempatan, akan bekerja.

“Selama ini, banyak permasalahan yang dialami tenaga kerja kita di dalam negeri yang tidak tertangani dengan baik karena minimnya tenaga pengawas di dinas-dinas tenaga kerja. Dengan keterbatasan itu, bagaimana mungkin mereka bisa menjangkau pengawasan terhadap penggunaan TKA. Apalagi untuk memantau pekerja asing ilegal yang tanpa dilengkapi dokumen kerja,” terangnya.

Dengan akan dikeluarkannya Perpres untuk memudahkan masuknya TKA seiring dengan meningkatnya investasi asing di Indonesia, Putih Sari menjelaskan, hal itu akan membuka celah masuknya TKA ilegal semakin meluas. Hal tersebut akan terjadi jika pengawasan terhadap TKA masih lemah dan Pemerintah pun mengabaikannya.

Karena itu dirinya mengingatkan, Pemerintah harus melakukan sejumlah upaya untuk memperbaiki keberadaan TKA supaya pekerja lokal tetap terlindungi. Di antaranya dengan merevisi Peraturan Menaker yang menghilangkan kewajiban bagi TKA untuk bisa berbahasa Indonesia. Juga merevisi kebijakan rasio 1:10 untuk jumlah TKA dibanding jumlah pekerja lokal di satu badan usaha.

“Selama kebijakan tersebut tidak diperbaiki, masalah TKA ilegal khususnya asal China akan selalu muncul. Alih-alih memberi kemudahan kepada pekerja asing yang berkapasitas ahli atau setingkat manajer ke atas dan terjadi alih teknologi, yang terjadi justru sebaliknya. Banjirnya tenaga kerja teknis di lapangan,” jelasnya.

Kendati demikian, Putih Sari mengaku bahwa tidak anti terhadap TKA, melainkan dengan sistem pengawasan ketenagakerjaan yang masih lemah dan kepemimpinan negara yang tak berdaya dalam menghadapi investor asing.

“Itu sangat membahayakan bagi kelangsungan dan masa depan bangsa kita,” pungkasnya. (kk/sw)

Sumber:Garudayaksa