Eramuslim – Sepintas keinginan Kementerian BUMN menjalinkan kerjasama antara PT Inalum Tbk. dengan produsen material baterai terbesar di dunia dari China, Zhejiang Huayou Cobalt Company Ltd., terlihat baik-baik saja.
Apalagi alasan yang digunakan adalah untuk hilirisasi industri dalam negeri yang memang berjalan lambat sejak aturan UU Minerba disahkan sepuluh tahun yang lalu dan menyebabkan relaksasi di sana sini sementara ekspor bahan mentah tetap terjadi.
Namun, bukan tidak mungkin kerjasama antara Inalum dan Zhejiang Huayou menyimpan maksud lain.
Misalnya, Zhejiang Huayou menjadikan kerjasama dengan Inalum itu sebagai jalan memutar untuk menguasai Freeport Indonesia dan cadangan mineral yang dimilikinya.
Demikian antara lain disampaikan peneliti dari Lingkar Survei Perjuangan (LSP) dan analis Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR), Gede Sandra, dalam perbincangan dengan redaksi beberapa saat lalu, Minggu (19/5).
PT Inalum adalah pemilik 51 saham PT Freeport Indonesia. Untuk membeli saham sebesar itu, tahun lalu Inalum menjual surat utang ke pasar global sebesar 4 miliar dolar AS. Sebesar 3,85 miliar dolar AS digunakan untuk memborong saham Freeport Indonesia.
“Mereka (bisa) masuknya ke bantuan untuk kewajiban pembangunan smelter Freeport, yang dalam hal ini Inalum jelas tidak mampu penuhi. Utang global bond menggunung, argo sudah jalan tapi sampai tiga tahun Inalum tidak menerima manfaat ekonomi (deviden dll). Inalum jelas tidak punya kemampuan untuk patungan bangun smelter Freeport,” ujarnya.