eramuslim.com -Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 2/2022 tentang Perubahan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) dinilai sebagai salah satu bentuk relasi kekuasaan eksekutif yang berafiliasi secara politik dengan kekuasaan yudikatif.
“Relasi kuasa ini juga tidak bisa dilepaskan antara Presiden (Jokowi) dan MK yang ketuanya (Anwar Usman) ialah suami dari saudarinya,” ujar Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (Infus), Gde Siriana Yusuf, kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (5/1).
Menurutnya, sebab dari dikeluarkannya Perppu Ciptaker yang dianggap mendukung cukong berinvestasi secara bebas, adalah karena keragu-raguan dan ambiguitas MK dalam memutus perkara judicial review UU Ciptaker yang disusun pemerintah dengan metode omnibus law, atau menggabungkan beberapa UU menjadi satu bagian. Hal ini tidak diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) sebelum direvisi DPR.
“Maka memberi peluang presiden mengeluarkan Perppu, tentu saja hal ini tidak terlepas dari relasi kuasa antara penguasa dan pengusaha, yang secara prinsip ujungnya adalah pertukaran kepentingan,” tuturnya.
Lebih lanjut, Gde Siriana memandang Presiden Jokowi seharusnya tidak mengeluarkan Perppu untuk menindaklanjuti putusan MK atas uji materiil UU Ciptaker yang pada intinya menyatakan inkonstitusional bersyarat. Sebabnya, ia melihat substansi dari jabatan presiden adalah melayani negara dan bangsa.
“Presiden dipilih rakyat melalui mekanisme demokrasi. Tetapi kenapa kemudian justru melecehkan demokrasi? Artinya pemerintah memberi karpet merah pada kejahatan dengan melindunginya menggunakan hukum yang sah,” demikian Gde Siriana. (Sumber: RMOL)