Hari-hari ini semua pejabat dan pegawai pajak, pasti merasa panas dingin dengan celotehan Gayus, yang menyingkap borok-borok di isntansi itu. Ini semuanya merupakan bukti betapa bobrok aparat dan intansi yang selama ini telah menjadi tulang punggung negara.
Seperti diungkap oleh terdakwa mafia pajak Gayus Tambunan membeberkan 6 modus kebobrokan di instansi pajak. Namun, sayang keterangan Gayus rupanya tidak digubris oleh tim penyidik independent. Apa yang diungkapkan Gayus itu, justru tidak mendapatkan respon yang memadai dari aparat penegak hukum.
"Timbul tanda tanya besar di pikiran saya, apakah tidak diexposenya mafia pajak yang sebenarnya terjadi di Ditjen Pajak ataupun pajak, apa karena Ditjen Pajak memang bersih atau ada settingan supaya melokalisir perkara saya saja yang diproses? Atau polri tak mampu bekerja profesional dan maksimal untuk ungkap mafia pajak sebenarnya?" kata Gayus dalam pembacaan pledoi di PN Jaksel, Senin (3/1/2011).
Sebelumnya, lanjut Gayus, enam modus itu sudah pernah dibeberkannya kepada penyidik tim independen, namun tidak ada tanggapan. Enam modus itu antara lain, yaitu;
Pertama, adanya negosiasi di tingkat pemeriksaan pajak oleh tim pemeriksa pajak, sehingga surat ketetapan pajak (SKP) tidak mencerminkan nilai yang sebenarnya, baik SKP kurang bayar maupun SKP lebih bayar.
Kedua, negosiasi di tingkat penyidikan pajak. Saat mengungkap penyidikan faktur pajak fiktif, pengguna faktur pajak fiktif ditakut-takuti, yakni bahwa statusnya akan diubah dari saksi menjadi tersangka.
"Ujung-ujungnya adalah uang, sehingga status pengguna faktur pajak fiktif itu tetap sebagai saksi," ucapnya.
Ketiga, lanjut Gayus, penyelewengan fiskal luar negeri dengan berbagai macam modus di bandara-bandara yang melayani penerbangan internasional sebelum berlakunya UU KUP pada 1 Januari 2008. Dalam UU itu, seseorang yang bepergian ke luar negeri diwajibkan membayar fiskal sebesar Rp 2.500.000.
Keempat, penghilangan berkas surat permohonan keberatan wajib pajak yang mengakibatkan permohonan tidak selesai diurus, hingga jatuh tempo selama 12 bulan sesuai Pasal 26 Ayat (1) UU No 16/2000. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 12 bulan, setelah keberatan pajak diterima, harus memberi keputusan, berapa rupiah pun nilai keberatan yang diminta.
Kelima, penggunaan perusahaan di luar negeri, khususnya Belanda, di mana terdapat celah hukum pembayaraan bunga kepada perusahaan Belanda. Bila bunga tersebut lebih dari dua tahun, maka dikenai PPh Pasal 26 nol persen. Di sini terdapat potensi penggelapan pajak PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 26 atas biaya bunga.
"Potensi kerugian dapat mencapai ratusan miliar rupiah, bahkan triliunan rupiah," papar Gayus.
Keenam, lanjut dia, kerugian investasi yang dibukukan dalam SPT tahunan. Hal ini dikarenakan adanya kerugian akibat pembelian dan penjualan saham antar perusahaan yang diduga masih satu grup.
Diduga tidak ada transaksi tersebut secara riil dan nilai jual beli saham itu tidak mencerminkan nilai saham yang sesungguhnya. Dengan terjadinya kerugian investasi jual beli itu, wajib pajak tidak membayar PPh Pasal 25.
Memang, negeri ini negeri yang bobrok. Korupsi bertambah subur dan berkembang biak secara luas, dan melibatkan aparat penegak hukum. (mnh/inlh)