“Perang yang tidak ada pernah ada rasa menang dan kalah. Ini event budaya yang terus kita lestarikan dan kembangkan,” kata Amin sesaat sebelum membuka prosesi Perang Topat.
Usai menyampaikan pembukaan, Amin langsung memberi aba-aba pertanda perang dimulai. Tanpa ragu, Amin bersama Bupati Lombok Barat Fauzan Khalid mengawali prosesi perang dengan melemparkan ketupat mini.
Begitu aba-aba perang dimulai, massa kedua kubu yang tampak sudah tidak sabar langsung berebut ketupat dan melemparkannya ke arah lawan. Tak ada amarah, baik Umat Islam maupun umat Hindu justru saling lepas tawa untuk saling membalas lemparan.
Tokoh Adat di Lingsar, Suparman, mengungkapkan, Perang Topat merupakan tradisi turun temurun yang terus dijaga masyarakat Lingkar dalam menjaga kerukunan umat beragama.
Ia menerangkan, Kompleks Pura Lingsar merupakan sebuah Pura yang dibangun pada 1759 saat zaman Raja Anak Agung Gede Ngurah, keturunan Raja Karangasem Bali, yang sempat berkuasa di sebagian pulau Lombok pada abad ke-17 silam.
Dalam pura ini, ada dua bangunan besar yakni Pura Gaduh sebagai tempat persembahyangan umat Hindu, dan bangunan Kemaliq, yang disakralkan sebagian umat Muslim Sasak dan masih digunakan untuk upacara-upacara ritual adat hingga kini.
Masyarakat Desa Lingsar, lanjut Suparman, selalu menggelar ritual Perang Topat pada hari ke-15 bulan ke tujuh pada penanggalan Sasak Lombok, yang disebut purnama sasih kepitu (Purnama bulan ketujuh), atau hari ke 15 bulan ke enam pada penanggalan Hindu Bali, yang disebut purnama sasi kenem (Purnama bulan keenam).