Eramuslim.com – Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menilai, kinerja keuangan pemerintahan Jokowi-JK tahun ini sangat buruk. Indikatornya, raihan penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) untuk Kementerian dan Lembaga di pemerintahan Jokowi-JK mengalami penurunan.
Manager Advokasi Fitra, Apung Widadi menuturkan, kabinet kerja Jokowi-JK pantas menerima raport kuning lantaran kinerja keuangan pemerintahan belum membanggakan seperti yang dijanjikan dalam Nawacita.
Berdasarkan analisa hasil pemeriksaan BPK terhadap laporan keuangan pemerintahan pusat (LKPP) APBN 2015, sebanyak 86 kementerian dan lembaga yang menyerahkan laporan keuangan.
“Tapi, BPK menemukan masalah-masalah yang masih berulang sejak 2014. Untuk itu, BPK masih memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) terhadap pemerintahan Jokowi-JK,” ujarnya, di Kantor Seknas Fitra, Jalan Mampang Prapatan V, Jakarta.
Jika pada 2014, sebanyak 62 kementerian dan lembaga (K/L) mendapatkan predikat WTP dari BPK. Ternyata pada tahun ini terjadi penurunan, hanya 56 K/L yang mendapatkan predikat WTP. “Ini terendah dalam lima tahun terakhir. Sedangkan, untuk opini Wajar Dengan Pengecualian (DPR) ada 26 K/L, tertinggi dari lima tahun terakhir,” kata Apung.
Kata Apung, dari hasil audit tersebut terdapat potensi kerugian keuangan negara mencapai Rp 221,8 triliun. Hal itu disebabkan laporan penggunaan keuangan tersebut belum jelas. Apung melihat, dengan buruknya tata kelola keuangan di masa pemerintahan Jokowi-JK ini, keuangan negara masih memiliki potensi risiko kebocoran.
“Potensi kebocoran itu mungkin lebih besar, sebab hasil audit BPK yang menghasilkan Rp 221,8 triliun ini diambil dari beberapa sampel dari Kementerian dan Lembaga. Padahal kalau kebocoran ini ditutup, kita bisa kurangi defisit anggaran,” tandasnya.
Sekjen Fitra, Yenny Sucipto, menerangkan kerugian sebesar Rp 221,8 triliun merupakan 12 persen dari besaran APBN-P 2015 yang mencapai sekitar Rp 1.800 triliun. Angka tersebut belum merupakan hasil akumulasi audit keseluruhan dari lembaga dan kementerian negara.
Menurutnya, salah satu sumber kerugian negara diduga disebabkan buruknya perencanaan keuangan saat pembelanjaan. “Sistem perencanaan yang buruk meliputi teknis administrasi, kesalahan pencatatan, alokasi penganggaran yang tidak tepat dan sebagainya. Aspek ini menyumbang kerugian sebesar Rp 166,9 triliun,” katanya.
Kerugian lain, lanjut Yenni, disebabkan belum disiplinnya penegakan negara terhadap penerimaan anggaran dari sejumlah sanksi. “Kerugiannya mencapai Rp 54,9 triliun yang berasal dari sanksi administrasi, piutang kedaluwarsa, piutang belum kadaluwarsa dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang tidak disetorkan secara maksimal,” ungkapnya.
Fitra menilai, kerugian negara sebesar 12 persen termasuk tinggi. Jika tidak segera antisipasi, ada potensi kebocoran keuangan negara yang lebih besar secara jangka panjang. “Karena itu, Fitra merekomendasikan adanya evaluasi sistem birokrasi secara menyeluruh terhadap kementerian dan lembaga pemerintah,” tandasnya.(jk/rmol)