Sekitar 100 aktivis anti-komunis berdemonstrasi di depan Istana Merdeka, Jakarta. Demonstrasi tepatnya berlangsung di pelataran Monas, yang menghadap Jalan Medan Merdeka Utara.
Mayoritas peserta demo mengenai pakaian putih. Mereka mengusung berbagai spanduk yang menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengurungkan niat untuk meminta maaf atas tragedi G30S/PKI kepada unsur mana pun.
Koordinator Presidium Anti-Komunis, Muzaki, mengatakan, minta maaf tak perlu dimohonkan SBY karena tragedi G30S/PKI adalah reaksi balik atas kebiadaban PKI pada 1948-1965. Desakan sekelompok orang yang mengaku korban 1965 adalah pengkhianatan dan pemutarbalikan fakta sejarah. “Yang pada gilirannya akan mengembalikan PKI dengan semua perangkat politiknya ke sejarah Indonesia,” katanya, Senin, 1 Oktober 2012.
Muzaki menerangkan, massa yang berdemo hari ini merupakan orang-orang yang konsisten menolak komunisme kembali ke Indonesia. Sebagian besar mereka berasal dari Banten, dan sebagian lagi berasal dari Jakarta. “Ada dari Gerakan Pemuda Ansor, ada dari Pemuda Pancasila, KAPPI (Kesatuan Aksi Pelajar Pemuda Indonesia), dan masih banyak lagi,” kata dia.
Tak hanya itu melalui berbagai aksi teatrikal dan spanduk sejak pukul 10.30, mereka juga menuntut tiga hal lain. Yaitu, meminta Presiden Yudhoyono dan DPR tetap mempertahankan TAP MPRS XXV/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia dan pernyataan sebagai organisasi terlarang; menolak segala bentuk rekonsiliasi apa pun terkait aktivitas PKI dengan segala bentuknya; meminta masyarakat meningkatkan kesiagaannya terhadap gerakan atau aktivitas terselubung aktivis PKI generasi baru.
“Hati-hati PKI bangkit kembali. Saat ini mereka tertawa, banyak yang duduk di DPR, kabinet, bahkan ada di staf Khusus Presiden bidang penanggulangan bencana alam,” kata Alfian Tandjung, salah satu aktivis, saat berorasi. Bahkan, Alfian menyebutkan, salah satu bentuk kebangkitan PKI adalah berita yang dimuat Koran Tempo. “Koran Tempo hari ini menyatakan PKI itu merasa dizalimi.”
Gejala lainnya, yaitu ratusan kebakaran menjelang pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. “Pasti ada operasi kontra intelijen. Sekolah Ade Irma Suryani, salah satu putri jenderal yang menjadi korban, juga turut terbakar,” kata dia. Alfian mengatakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Majelis Ulama Indonesia harus membersihkan dirinya dari upaya memaksa Presiden meminta maaf.(fq/tempo)