Forum Rektor: Tata Negara Kita Perlu Diluruskan

Sistem ketetanegaraan harus diluruskan untuk menciptakan stabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Secara teknis, Kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Forum Rektor akan membicarakan bentuk, format, skenario, dan strategi sebagai kesepakatan bersama untuk meluruskan sistem ketatanegaraan tersebut.

Demikian kesimpulan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Kelompok DPD di MPR dengan Forum Rektor yang dipimpin ketuanya, Sofian Effendi (Universitas Gadjah Mada) didampingi Thoby Mutis (Rektor Universitas Trisakti), Idrus A Paturusi (Rektor Universitas Hasanuddin), dan Wibisono Hardjopranoto (mantan Rektor Universitas Surabaya). Rapat dipimpin Ketua Kelompok DPD di MPR Bambang Soeroso, didampingi wakil ketua GKR Hemas, dan Sekretaris Kelompok DPD di MPR Ichsan Loulembah, di Ruang Rapat Kelompok DPD di MPR, Kompleks Parlemen, Jakarta (4/12).

Sofian mengatakan, Indonesia tidak memilih sistem parlementer ala Inggris dan Amerika karena keduanya memiliki kelemahan. UUD 1945 pun tidak mengakui sistem presidensiil seperti tertulis dalam risalah rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang diterbitkan Sekretariat Negara (Setneg). “Kita tidak memilih dua-duanya, tidak cocok.Kita memilih sistem sendiri. Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang paling pertama menggunakan sistem presidensiil," ujarnya.

Menurutnya, pendapat sebagian kelompok masyarakat yang meminta kembali ke UUD 1945 yang asli bukanlah pendapat Forum Rektor. Forum Rektor menghendaki pengkajian ulang UUD yang diamandemen dengan memperbaiki berbagai kelemahannya. “Kata-kata kuncinya adalah mengkaji ulang.”

Ia menambahkan, dalam mengamendemen UUD terdapat satu poin penting yang harus diperhatikan yakni strategi meluruskan UUD, yang antara lain mencakup formulasi sistem bikameral yang setepat-tepatnya untuk Indonesia.

Secara teoritis, katanya,terdapat empat alternatif, yakni pertama, amandemen formal seperti tertulis dalam Pasal 37 UUD. Tetapi masalahnya, akan bermunculan kontroversi apakah MPR lembaga yang masih berkewenangan mengamandemen UUD mengingat kedaulatan sudah di tangan rakyat. Sementara, dalam UUD yang diamandemen tidak terdapat kata-kata yang menyatakan MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.

“Sudah dihapus kata-kata itu. Artinya, kalau dipilih jalan amandemen formal maka akan bermunculan kontroversi yang berlanjut, apakah perubahan UUD sah atau tidak.”

Kedua, referendum. Tetapi ketentuan referendum juga tidak terdapat dalam UUD. Jadi, upaya mengamandemen UUD yang pertama sekali dilakukan adalah menetapkan cara perubahan UUD dengan memasukkan ketentuan referendum.

Ketiga, Presiden mendekritkan perubahan UUD. “Ini pernah kami ajukan kepada Presiden tetapi dijawab, ‘Jangan saya disuruh mendekritkan. Saya tidak se-powerfull Soekarno. Jadi, nggak bisa saya. Saya tidak sepopuler Soekarno yang mendapat dukungan TNI, sehingga dia bisa melakukan langkah inkostitusional itu dan menjadi acceptable,”jelas dia menirukan ungkapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala itu.

Keempat, kudeta. Constitutional moment seperti yang terjadi di Thailand diikuti dengan penyusunan UUD yang baru.

“Cara ketiga dan keempat bukanlah cara yang konstitusional, sehingga tidak perlu dipertimbangkan. Kita menempuh cara-cara konstitusional. Pilihannya tinggal kesatu dan kedua,” tambah Sofian.

Supaya kegiatan DPD dan Forum Rektor bersinegi, Sofyan mengusulkan, 26 simpul dengan 2.600 perguruan tinggi di seluruh Indonesia yang tergabung dalam Forum Rektor dimanfaatkan untuk mengorganisasi kegiatan mengkaji kembali UUD. Dengan demikian, diharapkan amandemen bergema bukan hanya dari Senayan. (dina)