Feri mencontohkan, kecurangan eksekutif sudah ditunjukkan dengan adanya pernyataan cawe-cawe dan penggunaan data intelijen dalam Pemilu 2024.
“Apakah cawe-cawe itu berkaitan dengan Pemilu 2024, tentu ini yang harus diperiksa oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui hak angket,” katanya.
Menurut dia, jika dilihat dari komposisi fraksi, Feri yakin hak angket ini pasti berjalan.
“Dan seharusnya memang harus dijalankan karena Pemilu 2024 punya banyak permasalahan. Harus dijalankan karena kecurangan itu sudah sangat jelas, tidak hanya cawe-cawe. Namun Sirekap yang banyak masalah tetap harus diselidiki,” katanya.
Feri mengatakan saat menggelar hak angket, DPR juga harus memanggil Komisi Pemilihan Umum atau KPU dan Bawaslu.
Mereka, kata Feri, harus diposisikan sebagai saksi, karena mereka sebagai penyelenggara Pemilu.
“KPU dan Bawaslu harus dipanggil sebagai saksi agar pelaku kecurangan itu dapat diketahui, apakah memang eksekutif pelakunya,” kata dia.
Feri mengatakan, hak angket akan berujung kepada penyataan pendapat dari DPR.
Pernyataan pendapat ini akan dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk digugat.
“Maka akan dilaksanakan sidang MK terhadap pendapat DPR, bisa saja hak angketnya berujung kepada pemberhentian presiden dalam masa jabatannya,” katanya.
Pernyataan hak angket, pertama kali diungkap oleh calon presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo.
Ganjar mengatakan PDIP sebagai partai yang mengusungnya akan mengajukan hak angket untuk menyelidiki kecurangan Pemilu 2024.
Terkait hal itu, kubu calon presiden nomor urut 1 Anies-Muhaimin mengatakan akan mendukung hak angket yang diajukan oleh PDIP.
Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. (Sumber: wartakota)