“Di pihak lain pengolahan minyak mentah dengan kilang mini (mini refinery) yang dimiliki pengusaha asli Indonesia ( bukan asing ) membayar pajak dan mempunyai dampak lebih sosial dan ekonomi kepada daerah setempat, malah dihajar terus dan tidak mendapatkan dukungan sebagaimana SPBU vivo yang diresmikan seorang Menteri,” ujarnya.
Padahal kilang mini swasta milik putra Indonesia berproduksi bisa juga menjual lebih murah, tetapi malah selama ini mendapatkan tekanan yang luar biasa.
“Jika dikaitkan dengan pertanyaan awal, ternyata banyak pihak yang terganggu dengan kehadiran kilang mini, terutama adalah orang kuat yang mempunyai akses istimewa terhadap kekuasaan,” jelasnya.
Selain itu, ia mengajukan pertanyaan, berikut yang harus juga mencari jawab adalah dengan dimunculkannya pihak swasta asing bersama orang kuat, apa disengaja untuk memperlemah Pertamina dengan merebut pasar dalam negeri, sehingga menjadi raksasa dunia menjadi sekadar mimpi.
“Sepertinya jawaban sementara adalah terkait momen dimana konstelasi Indonesia sedang memasuki tahun politik, dimana lebih dari 200 pilkada serentak tahun 2018, kemudian pilpres, pileg dan pilkada serentak tahun 2019, membutuhkan dana politik luar biasa, sehingga kemunculan orang kuat tersebut dikarenakan bisnis minyak memutarkan dana triliunan dengan keuntungan mengiurkan,” kata Syafril.
Syafril mendapatkan informasi SPBU Vivo milik anak perusahaan minyak asing Vittol, perusahaan dari Belanda berpatner dengan “orang kuat” di Indonesia dan tokoh yang selama ini dikenal sebagai ‘si raja minyak’ di zaman Petral, disebut-sebut juga bergabung kakak seorang menteri di Kabinet Kerja. (kl/sn)