Oleh : Henny (Ummu Ghiyas Faris)
Komunitas anak alay kini menjadi fenomena di kalangan ABG gaul negeri ini. Mereka disebut alay karena menampilkan perilaku atau gaya yang tidak biasa dilakukan anak seusianya.
Di mata komunitas alay, apa yang mereka tampilkan atau gunakan dianggap simbol atau ciri khas. Tapi buat orang-orang di luar komunitas itu, apa yang mereka tampilkan justru dinilai berlebihan alias lebay.
Profesi sebagai anak alay sama halnya seperti pekerja kantoran umumnya. Mereka memiliki jenjang karir, meskipun hanya bagi yang serius menekuni profesi ini. Yang awalnya hanya berperan sebagai peramai acara-acara di televisi. Kemudian, setelah bisnis ini berkembang, muncul agen-agen anak alay, hingga menjadi penonton bayaran di bawah asuhan agen-agen anak alay.
Penampilan fisik yang menarik memang sudah bisa dipastikan menjadi faktor penilaian utama bagi siapa pun untuk dapat tampil di televisi. Hal tersebut juga berlaku untuk menjadi penonton bayaran atau anak alay.
Tidak hanya komunitas anak alay yang sedang menjadi fenomena tetapi ABG yang jadi mucikari seperti di kutip dari merdeka.com (Minggu 9/6/2013) NA (15), siswi SMP swasta di Surabaya, Jawa Timur, harus berurusan dengan polisi karena tertangkap tangan menjual tiga ABG ke pria hidung belang di Hotel Fortuna Jalan Darmokali, Surabaya. Ironisnya lagi, satu dari ABG yang menjadi korban adalah kakak kandung tersangka sendiri.
Fenomena ini menjadi bisnis yang meraup keuntungan yang tidak sedikit, hingga berduyun-duyun ABG rela waktunya di pergunakan untuk hal seperti ini. Tidak sedikit pihak televisi membayar cuma dengan sekotak makanan, banyak anak alay yang sudah senang wajahnya bisa muncul di televisi. Lebih menyedihkan yang terjadi pada kasus siswi SMP yang menjadi mucikari menjual tiga ABG. Ke manakah pendidikan akhlak dan moral pada ABG ini sebagai penerus bangsa ?
Meski kelihatannya sepele soal anak alay, tetapi harus segera disadarkan. Bagaimana pun juga, generasi alay tidak berhenti hanya pada bahasa dan model penulisan dalam menyampaikan pesan. Hal lain yang justru perlu diwaspadai adalah soal gaya hidup. Jika “alay” sudah menjadi karakter, maka akan mudah bagi sebagian generasi bangsa ini untuk merasa terbiasa menjadi generasi alay. Menganggapnya hal sepele dan lumrah. Sebagian menyebutnya sebagai bagian dari dinamika hidup
Kedua kasus tersebut menunjukkan lifestyle remaja saat ini. Atas alasan ekonomi, mereka menjadi mucikari. Sistem demokrasi membebaskan generasi muda memilih profesi yang tak semestinya. Karenanya, mereka tak punya standar yang shohih dalam aktivitasnya. Paham kebebasan dalam demokrasi membuat orang-orang yang hidup di dalamnya terkondisikan menjadi orang-orang yang bebas bertingkah laku. Akibatnya, landasan hukum syara’ betul-betul dipinggirkan dari menu kehidupan. Sekularisme telah nyata membungkam umat sehingga makin jauh dari aturan Islam. Wallahu A’lam Bis-Shawaab.
BIODATA PENULIS :
Nama : Henny ( Ummu Ghiyas Faris)
E-mail : [email protected], [email protected]