Pemerintah tidak akan pernah lepas dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebab majelis yang dibentuk oleh pemerintah dari anggota yang berasal dari ormas Islam itu merupakan representatif dari umat Islam.
“Mereka harus membaca historisnya bahwa MUI itu yang mendirikan itu adalah pemerintah, kemudian MUI itu representatif dari umat, ”kata Ketua MUI KH. A. Cholil Ridwan menaggapi pernyataan Pimpinan Pondok Pesantren Tebu Ireng Salahuddin Wahid yang mengatakan negara tidak boleh merujuk fatwa MUI namun negara itu harus merujuk UUD 1945 dan UU.
Menurutnya, apabila masalah-masalah internal Islam tidak ada yang berwenang untuk mengeluarkan fatwa, maka pemerintah harus mempunyai mufti seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan juga Singapura.
“Nah Mufti itu yang akan mengeluarkan fatwa, tapi kalau MUI tidak memberikan fatwa, dan juga tidak ada Mufti maka agama Islam akan punah, ”tandasnya.
Lebih lanjut Cholil menjelaskan, pada zaman orba MUI pantas dianggap sebagai kepanjangan tangan pemerintah. Tetapi setelah proses reformasi posisi MUI menjadi independen, dalam hal ini pemerintah itu menjadi mitra kerjanya.
“Karena pemerintah itu adalah mitra maka pemerintah membagi-bagi tugas bahwa urusan agama adalah urusan MUI, karena itulah maka pemerintah menyerahkan tugas untuk urusan agama, akidah, syariah, ini urusan MUI, ”jelas Pimpinan Pondok Pesantren Husnayain itu.
Mengenai ketakutan aktivis HAM bahwa MUI mengeluarkan larangan yang melanggar UU, Cholil menegaskan, selama ini fatwa MUI tidak ada yang melanggar UU. Ia mencontohkan, kasus fatwa Ahmadiyah yang mereka bela, padahal sudah sangat jelas Ahmadiyah itu masalahnya bukan kebebasan beragama, tapi dia menggunakan kebebasan untuk merusak agama Islam.
“Kalau dia mengaku Islam, tapi tidak menjalankan Islam dengan benar itu kan ada UUD. Kenapa Al-Qiyadah Al-Islamiyah bisa dikatakan sesat kemudian tokohnya ditahan, kenapa Ahmadiyah tidak. Ahmadiyah kan sama mempunyai nabi baru lagi, ”imbuhnya.(novel)