Fatayat NU: Kasus Kekerasan terhadap TKI Sangat Memprihatinkan

Kasus kekerasan tenaga kerja Indonesia (TKI), terutama tenaga kerja wanita (TKW) dan buruh migran yang bekerja di luar negeri terus mengalami peningkatan. Berdasarkan catatan 10 bulan terakhir, sejak Januari hingga Oktober 2007 tercatat ada 316 kasus.

"Dari 170 kasus buruh migran ini, termasuk yang meninggal dunia. Jadi, dengan kondisi ini, sangat memprihatinkan, " ungkap Ketua Fatayat NU Maria Ulfa di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Ahad (16/3).

Dari total 316 kasus yang terjadi, tercatat sebanyak 146 kasus menimpa TKI dan 170 kasus buruh migran. Oeh karena itu, Fatayat NU meminta kepada pemerintah, selain memberikan perlindungan yang memadai bagi TKI, juga memperhatikan keberadaan Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJKTI).

Leih lanjut Maria Ulfa mengatakan, perhatian utama tehada para PJTKI itu terkait dengan regulasi dan penempatan TKI yang tepat. Sehingga, dapat sesuai dengan kapasitasnya. Bukan tidak asal mengirimkan hanya untuk kepentingan dan memenuhi permintaan negara tujuan.

"Sudah saatnya, TKI yang bekerja di luar negeri berdasarkan keahlian yang terserap di sektor formal, bukan lagi, karena permintaan pasaran di sektor informal, " imbuhnya.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengungkapkan, Problematika yang dihadapi buruh migrant Indonesia sepertinya tidak pernah usai, sudah seharusnya pemerintah sebagai pemegang mandat untuk memberikan perlindungan terhadap mereka.

"Perlindungan terhadap buruh migran Indonesia merupakan pekerjaan rumah yang tidak pernah terselesaikan. Bahkan menurut Menakertrans Erman Suparno, persoalan buruh migrant Indonesia pada tahun 2007 mengalami peningkatan 100 persen, ini ironi karena pada saat yang sama Indonesia baru saja membentuk BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perindungan Tenaga Kerja Indonesia), " katanya sebelum melakukan pertemuan dengan Komisi IX DPR di Jakarta Senin(17/3).

Sebelumnya, pada Rabu (5/3) Deplu berhasil memulangkan dua TKI korban penganiyaan majikan di Arab Saudi, Tari binti Tarsim dan Ruminih binti Surtim, setelah keduanya menjalani proses penyelesaian hukum dan kompensasi hak secara syariah Islam.(novel/nu.ol)