Pada zaman Orde Baru, Faisal menyebut hanya satu partai saja yang memiliki akses dana untuk pemilu. Dua partai lainnya hanya sebatas pengfembira belaka. “Kalau dulu (zaman Orba) yang memeras cuma Golkar. Golkar dominan, sememtara dua partai lain penggembira. Makanya kampanyenya kere. Tapi kalau golkar kan glamour,” kata dia. Saat ini, situasinya berbanding terbalik dengan masa Orba. Perolehan suara partai pemenang pemilu tak jauh berbeda dengan suara partai-partai lainnya. Jika ada lima partai, maka satu partai sebut saja memperoleh suara 19 persen, partai kedua 12 persen, pqrtai ketiga 9 persen, partai keempat 7 persen dan partai kelima 5 persen.
“Kalau digabung baru lolos dia. Jadi saling dukung mereka. Nah contohnya RUU Pertembakauan. Sudah jelas Pak jokowi menolak pembahasan RUU itu, sekarang DPR ngotot lagi. Definisinya tembakau warisan Nusantara. Jadi jangan diatur produksinya, jangan diatur harganya,” papar Faisal. Padahal, ia melanjutkan, smoking rate di Indonesia saat ini tertinggi di dunia.
“Fieman Subagyo itu inisiatornya. Kemarin juga Pak Misbakhun ngomong soal itu. Itu juga salah satu indikasi pemgumpukan dana politik untuk pemilu,” sebut dia. Soal angka yang berhasil dikumpulkan dari tindakan itu ternyata cukup besar. Faisal memprediksi jumlahnya mencapai ratusan miliar rupiah.
“Nah kalau angka yang gampang, yang jelas hitung-hiungannya itu impor gula rapinasi itu 3 juta ton dikali Rp82 ribu. Itulah setahun jadi kira-kira Rp235 miliar. Itu ongkos administrasinya 08saja,” beber dia.
“Itu baru dari gula. Beras lebih tinggi lagi. Impor Rp4.500 dijual Rp9.000. kita harus bersuara terus,” demikian Faisal.(kl/akt)