Eramuslim.com – Habib Rizieq divonis 4 tahun penjara dalam kasus berita bohong mengakibatkan keonaran terkait hasil swab Habib Rizieq di RS Ummi.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menilai vonis tersebut tidak adil bila dibandingkan dengan vonis perkara pidana maupun korupsi lainnya yang divonis sama.
“Apa yang dikenakan pada Habib Rizieq vonis 4 tahun ini sungguh menggelikan menurut saya ya, karena jelas ada perasaan ketidakadilan di masyarakat dan ini berlebihan. Sangat berlebihan apa yang dituduhkan dan apa yang dijatuhkan hukuman kepada Habib Rizieq hanya gara-gara kasus swab ini,” kata Fadli dikutip dari unggahan video YouTube pribadinya Fadli Zon Official, Jumat (25/6/2021).
Fadli Zon berharap Pengadilan Tinggi DKI Jakarta nantinya dapat memberi keadilan terhadap Habib Rizieq.
Fadli Zon mengatakan apabila tidak mendapat keadilan di putusan PT DKI Jakarta, akan sulit bagi publik mempercayai hukum di Indonesia.
“Mudah-mudahan di Pengadilan Tinggi ketika Habib Rizieq dibacakan juga dalam berita telah menyatakan banding bisa ada keadilan. Kalau tidak, saya kira ini akan sangat menciptakan suatu situasi dan kondisi ketidakpercayaan masyarakat kepada hukum lagi. Hukum dianggap sudah menjadi subordinasi politik atau kepentingan politik sehingga hukum sesuai dengan selera penguasa, siapa yang mau dihukum dan siapa yang tidak,” ungkap Fadli Zon.
Fadli Zon lalu membandingkan lamanya vonis kasus Habib Rizieq dengan kasus pidana lainnya, misalnya kasus korupsi yang juga divonis sama dengan Habib Rizieq.
Fadli Zon mengingatkan ancaman bahaya apabila ada yang mempermainkan hukum.
“Jadi kita melihat ada kegelisahan di tengah masyarakat sekarang ini. Hukum tidak menjadi suatu alat untuk mencari kebenaran dan keadilan, tapi untuk melegitimasi kebenaran atau keadilan bagi kekuasaan. Dan ini menurut saya sangat berbahaya karena kalau hukum ini tidak lagi dipercaya oleh masyarakat, tentu orang akan mencari jalannya sendiri sendiri untuk mencari kebenaran dan keadilan,” ucapnya.
Anggota Komisi I DPR RI Fraksi Gerindra itu juga mengkritisi penggunaan Pasal 14 ayat (1) UU RI Nomor 1 Tahun 1946. Menurut Fadli Pasal tersebut dibuat pada tahun 1946 dan merupakan pasal warisan kolonial Belanda.
Menurut Fadli Zon, pasal tersebut semestinya tak lagi digunakan karena dianggap berbeda konteks.
“Hukum yang ada ketika itu adalah hukum yang merupakan masih warisan kolonial dan juga tentu konteks ketika itu yang dimaksud dengan keonaran, dengan berita bohong, saya kira sangat berbeda, sangat berbeda jauh dengan konteks soal laporan kebohongan hasil swab dari RS Ummi atau pengumuman dari pemberitaan itu,” ungkapnya.