“Dua faktor di atas sama dengan pesan yang dikirim ke investor bahwa kondisi makro Indonesia rapuh. Ini yang saya bilang, berdiri tapi selalu sempoyongan,” sindirnya.
Ketiga, menggeser subsidi dari akuntansi makro (APBN) ke akuntansi mikro (BUMN) sama dengan memberi pesan, Indonesia siap mengobral cabang-cabang produksinya sekaligus sumberdayanya.
“Syarat, kepemimpinan politik harus cerdas dan cermat membangun situasi ekonomi politik yang sehat. Sayang, ini tidak dimiliki,” ungkap dia.
Keempat, kredit yang tidak dicairkan terus meningkat. Saat ini mencapai Rp 1.467 triliun lebih tinggi dari tahun lalu. Artinya, komponen peningkatan PDB didominasi asing.
Karena pemodal mencari yang aman dan menguntungkan, tentu Indonesia ditinggal.
“Indikator-indikator di atas menunjukkan, Indonesia dalam perangkap sistem perbudakan modern,” cetusnya.
Kelima, dilema pertumbuhan ekonomi dan stabilitas selalu akan terjadi. Karena pasar modal dan pasar uang selalu memberi sumbangan besar atas risiko perekonomian Indonesia.
Maka sebutannya emerging markets sebagai pengganti istilah negara berkembang, atau pegganti istilah negara dunia ketiga. “
Lalu, sampai kapan begini?
,” ujarnya.
Noorsy memperkirakan, Indonesia akan terus terperangkap sebagai budak modern dari negara-negara industrial atau kaum kapitalis dunia selama tidak membangun perekonomiannnya dengan rujukan ekonomi konstitusi.