Eggi Sudjana: Jokowi Pantas Dihina Karena Sesuai Dengan Fakta

JokowiBlenyun-300x350Eramuslim.com – Upaya Presiden Joko Widodo menghidupkan kembali pasal penghinaan kepala negara di dalam rancangan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dinilai sebagai sebuah kegilaan.‎

“Undang-undang ini sudah ada pada tahun 1830 pada zaman kolonial Belanda dan di Indonesia pada tahun 1918 diterapkan. Tapi sudah dibatalkan sembilan tahun lalu (oleh Mahkamah Konstitusi), masak sekarang mau dimunculkan lagi? Inikan gila atau abnormal,” ujar praktisi hukum Eggi Sudjana ‎dalam talk show di salah satu stasiun televisi swasta nasional baru-baru ini.‎

Sebuah undang-undang, sebut Eggi, dibuat tidak bisa asal-asalan. Tetapi harus jelas background baik dasar filosofis, historis, sosiologis, maupun yuridisnya.

“Dulu kita dijajah Belanda sehingga pasal 134 waktu itu judulnya untuk gubernur jenderal. Kenapa diganti jadi presiden? Padahal kita sudah merdeka. Jadi alam filosofisnya sudah beda jauh, itu zaman primitif,” paparnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, persoalan utama terkait pasal itu bukan pada konteks apakah presiden menerima untuk dihina atau tidak, tetapi pada permasalahan apakah dia memang benar-benar layak untuk dihina atau tidak.

Semuanya, menurut Eggi, kembali kepada fakta. Selama fakta yang ada menunjukan bahwa seorang presiden layak untuk dihina maka penghinaan tersebut tidak dapat dipidanakan.

‎”Kalau saya bilang Jokowi brengsek dan tidak tahu diri apakah itu menghina? ‎Pertanyaannya adalah pantaskah dia dihina kalau tidak benar? ‎Dalam perspekktif moral mungkin tidak etis. Tapi tidak boleh dihukum karena sesuai dengan fakta,” katanya.

‎”Dia (Jokowi) dulu bilang tidak mau jadi presiden dan mengatakan nggak mikir, nggak mikir padahal (sebenarnya) mau. Kemudian dia berjanji mau kabinet ramping, kok malah gemuk. Waktu kampanye bilang nggak akan naikkan BBM, tapi faktanya tidak begitu. Apakah semua yang dikatakannya benar?”‎ tukas Ketua Umum Partai Pemersatu Bangsa yang kerap disapa Bang Eggi ini mempertanyakan.(rz/RMOL)