Dulu Doa Bersama, Sekarang Doa Gantian

Jika dicermati barang sejenak, fenomena “doa bersama” antarumat beragama, akan menghasilkan konklusi sebagai berikut:

Pada saat tokoh Islam yang memimpin “doa bersama”, tentunya akan mengagungkan Asma Allah, dengan memanggil Wahai Allah, dan seluruh peserta pun ikut mengamini.

Pada saat tokoh Budha yang memimpin “doa bersama”, tentunya memanggil Wahai Sang Budha, demikian seterusnya yang terjadi pada setiap pemimpin agama.

Mereka memanggil Tuhannya masing-masing dan semua peserta akan mengamini.

Walaupun misalnya setiap pimpinan agama tersebut hanya menggunakan kata panggil Wahai Tuhan, maka akan tetap mengandung arti panggilan kepada Tuhannya masing-masing, demikianlah kenyatan yang ada, dan di sinilah letak terjadinya kesyirikan.

Menghindari Kemusyrikan

Untuk itulah, apabila harus diadakan “doa bersama” secara kenegaraan misalnya, hendaklah diadakan secara terpisah, umat Islam berkumpul dan mengadakan “doa bersama” tanpa dihadiri nonmuslim.

Untuk nonmuslim, mereka mengadakan “doa bersama” dengan umatnya masing-masing di tempat yang brebeda.

Dengan demikian, umat Islam bisa terhindar dari perbuatan syirik yang bisa menyebabkan kemurtadan dan kekafiran.

Barang kali ada cara yang lebih baik dan efektif, khususnya bagi umat Islam yang tidak meragukan kebenaran ajaran agamanya, yaitu seluruh umat Islam Indonesia mengadakan “doa bersama” secara serentak, dan sebelum melaksanakan doa tersebut diperintahkan untuk bertobat kepada Allah, serta mengembalikan tindakan aniaya kepada yang berhak.