Setelah beberapa kali kantornya didatangi oleh umat Islam yang memprotes penyebaran film "Fitna", Duta Besar Belanda Nikolaos van Dam mengadakan dialog dengan perwakilan ormas Islam Indonesia dan perwakilan negara-negara Islam terkait kontroversi film anti Islam buatan anggota parlemen Belanda dari parati oposisi Geert Wilders.
Acara dialog tersebut dimoderatori oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin itu berlangsung di Kantor Sekretariat PP Muhammadiyah, Jakarta, Senin(7/4).
Dalam kesempatan itu, Dubes Nikolaos kembali menyatakan, bahwa pemerintah Belanda menolak secara tegas film tersebut, karena sifatnya yang menggeneralisasikan dengan cara menyakitkan, dapat menyinggung dan dapat menimbulkan perpecahan.
"Kita sebenarnya berada pada pihak yang sama dalam menyikapi film ini, Islam tidak boleh diidentikan dengan tindakan kekejaman dan kekerasan, kami menyesal Wilders telah meluncurkan film ini, Kami percaya bahwa film ini tidak membawa manfaat, kecuali menyinggung perasaan umat Islam, " ujarnya dalam bahasa Indonesia.
Ia mengakui, di negaranya tidak ada sensor, itu sebabnya mengapa pemerintah Belanda tidak dapat mengeluarkan larangan atas film itu sebelumnya, sebab pemerintah tidak dapat melarang sesuatu isinya belum diketahui.
"Hanya pengadilan saja yang dapat menentukan apakah ada pelanggaran hukum setelah pendapat itu diungkapkan. Bagi mereka yang mempunyai kritik terhadap doktrin-doktrin agama tertentu, mereka mempunyai hak untuk mengungkapkannya, " lanjut Nikolaos.
Kecaman dari Dubes Negara Muslim
Menanggapi pernyataan Dubes Belanda, Dubes Mesir untuk Indonesia Sayed Toha Assayed mengatakan, kebebasan berekspresi tidak bisa bersifat absolut, dan bertentangan dengan hal orang lain. Kalau itu dibiarkan, sama saja memberlakukan standar ganda.
"Orang muslim percaya pada Nabi Muhammad dan kitab suci Al-Quran, orang lain tidak bisa menghinanya, " tegasnya.
Sementara itu, Dubes Turki untuk Indonesia Aydin Ersigen mengatakan, fitna tidak bisa diterima umat Islam. Ia menilai kebebasan berekspresi yang diyakini oleh Belanda, itu adalah kebebasan yang diartikan secara salah kaprah.
"Kita berharap kebebasan mereka yang bertanggung jawab tidak untuk meyerang nilai dan kepercayaan orang lain, " ungkapnya.
Ia menduga, lahirnya film tersebut disebabkan ada perhatian khusus negara barat terhadap gerakan-gerakan radikal di negara muslim. Karena itu, Aydin mengajak, negara muslim untuk mengatasi gerakan itu, dan mengadakan dialog untuk menghilangkan perbedaan persepsi antara Barat dengan Islam. (novel)