Penanganan Aceh pasca penandatanganan nota kesepahaman (MoU) Helsinski ternyata belum mampu menciptakan suasana kondusif. Buktinya, saat ini masih terjadi tarik ulur kepentingan politik antara Jakarta-Aceh.
“Penanganan tidak menyentuh masalah-masalah sebelum MoU seperti kekerasan semasa konflik, ” ujar Amiruddin Al-Rahad dari Aceh Working Group, dalam peringatan Dua Tahun MoU Helsinski Indonesia-GAM, Hotel Treva, Jakarta, Selasa (14/8).
Menurutnya, ada hal-hal yang perlu diperhatikan Jakarta, antara lain, penanganan masalah yang masih simbolik seperti pergantian Kepala Daerah.
“Itu masih belum mampu mengganti birokrasi dan tidak menyentuh kepentingan keluarga korban semasa konflik, ” paparnya.
Ironisnya lagi, di bidang sosial ekonomi hingga kini juga belum ada mekanisme jelas dalam implementasinya. Belum ada blueprint di bidang ekonomi yang akan dijalankan pemerintah daerah.
Demikian pula dalam hal birokrasi. “UU Pemerintahan Aceh harus diterjemahakan dengan membuat pembaharuan birokrasi di Aceh, ” pungkasnya.
Oleh karena itu, saran Amiruddin perlu ada dorongan baru antara Aceh dan Jakarta. Jakarta harus dinamis dan konstruktif memandang Aceh.
“Jangan sampai melihat Aceh seperti dua tahun lalu yang patut dicurigai, ” tandasnya. (dina)