Dr. Ugi Suharto: Perlu Integrasi Ilmu Ekonomi dan Studi-Studi KeIslaman

Tak banyak ekonom Islam kontemporer bisa memadukan antara konsep ekonomi dengan disiplin ilmu keIslaman. Sehingga ilmu ekonomi yang saat ini berkembang masih menggunakan paradigma Barat. Oleh karena itu perlu integrasi keduanya (Ilmu Ekonomi dengan studi keIslaman).

Demikian paparan dosen Ilmu Ekonomi Islam Universitas International Antar Bangsa (UIA)/International Islamic UniversityMalaysia (IIUM), Dr. Ugi Suharto, dalam diskusi yang bertajuk “Integration of Islamic Studies and Economics” (The Scope of Islamic Studies), Kamis (28/6).

Menurut peneliti Institute for the Study of Islamic Tought and Civilization (INSIST), Malaysia, gagasan integrasi keilmuan itu berasal dari buku yang bertajuk Problem Research in Islamic Economics – A Symposium Jointly Held with The Islamic Research and Training Institute Islamic Development Bank – Jeddah, Arab Saudi yang dipublikasikan di Amman, oleh The Royal Academy for Islamic Civilization Research, April 1986.

Dalam buku itu, terdapat empat tokoh ekonom Islam yang memaparkan gagasannya tentang perlunya integrasi studi-studi keIslaman dengan ekonomi.

Mereka adalah Prof. Dr. Nevzat Yalcintas, ketua devisi penelitian IRTI dan IDB; Prof. Dr. Muhammad Anas el-Zarqa, dari Pusat Penelitian Ekonomi Islam di Universitas King Abdul Aziz, Jeddah; Prof. Kurshid Ahmad, Chairman International Institute of Islamic Economics, International Islamic University, Islamabad dan Dr. Radi el-Bdour, College of Economics and Administrative Sciences Yarmouk University Ibrid Jordan.

Ugi, yang juga dosen pasca sarjana Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, ini kemudian mengambil sari gagasan-gagasan dari tiga tokoh yang pertama, karena gagasan-gagasan merekalah yang menurutnya anggap paling relevan dengan yang ingin ia sampaikan.

Tak Bebas Nilai

Gagasan integrasi studi-studi keIslaman dengan ekonomi, menurut Ugi, bukan hal baru, tapi sudah digagas sejak 21 tahun lalu. Tapi sampai sekarang belum terlaksana, termasuk di kampus UIA sekalipun.

Prof. Dr. Nevzat Yalcintas, misalkan, beliau sangat menekankan pentingnya integrasi studi-studi keIslaman dengan ekonomi Islam. Penelitian di bidang ini sangat erat kaitannya dengan cabang-cabang studi keIslaman lainnya.

Studi-studi keIslaman banyak mengambil fokus pada perilaku manusia (human behaviour), begitu juga ekonomi Islam. Sehingga bisa dikatakan bahwa ekonomi Islam tidak bisa dilepaskan dari disiplin-disiplin ilmu Islam lainnya, utamanya etika, ushul, fiqh, teologi, dan sejarah.

Dalam etika, Prof. Yalcintas menyatakan bahwa etika Islam merupakan inti (core) dalam ekonomi Islam. Dengan demikian ekonomi Islam tidak bebas nilai, tapi berdasarkan nilai, nilai etika Islam.

"Inilah perbedaan penting antara ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Karena sejak awal ekonomi Islam menolak “ekonomi bebas nilai”. Bahkan ilmu itu sendiri tidak bebas nilai, tapi sudah dipenuhi dengan nilai. Sehingga ekonomi Islam adalah ilmu yang sarat dengan sistem nilai Islam, atau ilmu yang pro-Islam. "

Sebagai catatan, katanya, jika kita ingin mempelajari etika dalam Islam, maka akan kita dapati rujukan yang melimpah, mulai dari tafsir sampai kalam, komentar-komentar terhadap Nicomachean Ethics-nya Aristoteles sampai teks-teks sufi.

"Nilai-nilai etika yang terdapat di dalamnya perlu digali dan dielaborasi untuk diterapkan dalam ekonomi Islam. Begitu juga ide-ide etika Islam dalam literatur-literatur karya para pakar terdahulu perlu dikenalkan bagi mereka yang mendalami ekonomi Islam, " sarannya.

Sebut saja seperti; Al-Farabi yang menulis al-Madinah al-Fadilah (On the Perfect State), Siyasah al-Madaniyyah (The Political Regime), Tahsil al-Sa’adah (The Attainment of Happiness). Juga Raghib al-Isfahani yang menulis al-Dhari’ah ila Makarim al-Shari’ah; Ibn Maskawayh yang menulis Tahdhib al-Akhlaq; dan Ibn Sina yang menulis Tadbir al-manzil.

Dalam bidang ilmu Ushul, ekonomi Islam terlihat ada kesamaan dari segi metodologi. Menurut Ugi, istilah ilmu Ushul sangat terkait dengan tiga disiplin dalam Ushul Fiqh, yakni Ushul Fiqh itu sendiri (teknik pengambilan hukum); Maqasid al-Syariah, yang menjelaskan hikmah di balik hukum itu; dan siyasah shar’iyah, yang membahas pengaturan dan pengontrolan kebijakan publik. Ketiga disiplin ini menurutnya sama-sama urgent untuk input ekonomi.

Sedangkan dalam bidang Fiqh (fikih), ekonomi Islam tidak bisa dipisahkan sama sekali darinya. Namun bagi sebagian kalangan yang kurang memahami secara komprehensif menyatakan bahwa Ekonomi Islam itu tidak lebih dari Fiqh Muamalah. Padahal ekonomi Islam tidak terbatas pada muamalah saja. Justru kalau “muamalah” diterjemahkan ke dalam bahasa ekonomi, maka bukan ekonomi Islam, tapi “hukum bisnis Islam” (Islamic busines law).

Ia menegaskan, manfaat belajar fikih adalah untuk mengetahui secara betul dan bisa membedakan ekonomi Islam, matematika dan fikih muamalah dengan logikanya masing-masing, karena keduanya punya logikanya sendiri.

Sedangkan teologi (Islamic theology atau aqidah), justru ia merupakan payung dari semua cabang keilmuan yang ada. Termasuk pula ekonomi Islam berada di bawah naungan aqidah, karena pastinya ekonomi Islam tanpa aqidah Islam tak akan pernah eksis.

”Banyak ahli ekonomi Islam akhir-akhir ini yang salah dalam menyatakan halal dan haram. Sebagai contoh, cara membedakan antara riba dan profit. Dalam kas kredit, misalnya, maka perlu tahu perbedaan logika matematika dan logika fikih. Walaupun secara matematik tiada perbedaan, tapi perspektif fikih terdapat perbedaan, ” ujar Ugi.

Begitu pentingnya masalah ini, menurut rencana, kajian ini juga akan disampaikan di Jeddah, Saudi Arabia, dalam acara International Confrence of Islamic Economic, yang rencananya akan dilaksanakan akhir tahun ini.

Nama Dr. Ugi Suharto masih belum banyak dikenal di Indonesia. Pria kelahiranJakarta ini adalah dosen program S2 dan S3 di Universitas Islam Antarabangsa (IIUM), Malaysia. Beliau merupakan ilmuwan Islam langka di Indonesia. Selain dikenal pakar ekonomi syariah, dia juga pakar dalam bidang pemikiran Islam, sejarah dan metodologi hadits. (dina)