Kekuasaan bukanlah sesuatu yang jelek. Dan tidak semua orang jelek soal kekuasaan. Prof Din Syamsuddin mengajak saya makan malam untuk menanyakan pendapat saya ketika dia diajak gabung di kekuasaan. Niatnya untuk ikut bagian perdamaian ummat manusia, khususnya negara-negara Islam. Saya senang saya diminta pendapat dan senang misinya dia. Kekuasaan jika untuk kebaikan tentu akan sangat bermanfaat.
(Terkahir saya lihat Prof Din mundur dari jabatannya. Alasan dia untuk menjadi kekuatan tengah bangsa kita).
Kekuasaan dalam buku-buku karangan barat seperti karya Machiavelli, atau 48 Laws of Power by Robert Greene, menempatkan kekuasaan sebagai hal yang harus dikontrol, dicari dengan segala cara dan jangan dilepas.
Ajaran-ajaran kekuasaan seperti ini menempatkan ego dan ambisi manusia untuk diutamakan. Nafsu manusia dalam hidup dan kehidupan, sekali lagi berbasis nafsu, menjadi andalan motivasi.
Kekuasaan Adalah Amanah?
Bagi sebagian orang kekuasaan adalah amanah suci. Bagi sebagian lainnya ada juga yang tidak berminat. Untuk yang terakhir ini kita lihat dalam film King Speech, pewaris raja Inggris paska perang dunia ke dua, menolak jadi Raja Inggris. Sebab, syarat jadi raja harus melepaskan kekasihnya yang masih belum berstatus janda. Dia menyuruh adiknya saja yang jadi raja. Inggris kerepotan karena adiknya mengalami sakit “gagu” bicara.
Soal amanah suci, umumnya dikaitkan dengan beratnya menjadi orang berkuasa, dalam level apapun. Dalam level keluarga atau suku ruang lingkupnya terbatas. Namun dalam korporasi multinasional apalagi negara, tanggung jawab sangat besar.
Khusus penguasa negara, tanggung jawab kekuasaan berhubungan dengan keadilan. Apakah seorang penguasa mampu bersifat adil?
Yang kedua tidak memperkaya diri. Godaan menjadikan akses dan asset publik (negara) untuk keuntungan diri sendiri begitu besar. Setiap informasi dalam kekuasaan adalah uang dan sumber uang. Bagaimana godaan itu dapat dikendalikan?