Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Uji Materiil pasal 11 ayat 2 UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) terhadap UUD 1945, yang diajukan oleh 8 anggota DPR. Permohonan itu tidak dapat diterima kerana Majelis hakim berpendapat, pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian UU tersebut.
"Para pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum dalam permohonan pengujian UU a quo, sehingga permohonan para pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima, oleh karenanya pokok permohonan tidak perlu dipertimbangkan lagi, "tegas Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqie dalam sidang pembacaan putusan, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin(17/12).
Sementara itu, Hakim Konstitusi HM. Laica Marzuki menyatakan, bahwa dalam substansi persoalan yang diajukan pemohon merupakan persoalan legislative review, bukan judicial review. Sebab jika DPR menganggap hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya pasal 11 ayat 2 UU Migas mengajukan permohonan itu ke MK, sangatlah ganjil karena kewenangan DPR untuk membentuk dan mengubah UU.
"Seandainya DPR alpa, sehingga membentuk UU yang merugikan hak konstitusionalnya sendiri, sesuatu yang sulit dibayangkan dapat terjadi, maka tidak ada halangan apapun baginya untuk melakukan perubahan terhadap UU tersebut, "tegasnya.
Kedelapan anggota DPR-RI yang menjadi Pemohon uji materiil UU Migas antara lain, Zainal Arifin, Sonny Keraf, Alvin Lie, Ismayatun, Hendarso Hadiparmono, Bambang Wuryanto, Dradjad Wibowo, Tjatur Sapto Edy.
Sebelumnya, Kuasa Hukum para Pemohon Januardi S. Haribowo SH mengatakan, UU Migas khususnya Pasal 11 Ayat (2) yang memuat ketentuan, “Setiap kontrak kerja sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada DPR, ” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Pasal 11 Ayat (2) UU Migas bertentangan dengan Pasal 11 Ayat (2), Pasal 20A Ayat (1) serta Pasal 33 Ayat (3) dan (4) UUD 1945, ” ujar Januardi.
Januardi mengemukakan dengan berlakunya UU Migas maka hak-hak konstitusional para Pemohon dalam kapasitasnya selaku anggota DPR-RI telah dirugikan. Selain itu, Para Pemohon merasa telah kehilangan hak konstitusionalnya untuk memberikan persetujuan atau untuk menolak memberikan persetujuan atas perjanjian-perjanjian internasional yang dalam hal ini Kontrak Kerja Sama (KKS) yang telah ditandatangani oleh Pemerintah cq. Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dengan pihak kontraktor.
“Padahal kontrak-kontrak atau perjanjian-perjanjian tersebut mempunyai nilai nominal sangat besar dan nyata-nyata memiliki akibat atau dampak luas bagi kehidupan rakyat, ” katanya.
Januardi menambahkan dengan berlakunya Pasal 11 Ayat (2) UU Migas maka perjanjian atau KKS antara Pemerintah cq BP Migas dengan pihak kontraktor hanya diberitahukan kepada DPR-RI, setelah perjanjian tersebut ditandatangani bukannya terlebih dahulu dimintakan persetujuan kepada DPR. Telah membuat DPR-RI secara pasif hanya menerima salinan dari perjanjian yang sudah selesai ditandatangani oleh Pemerintah cq. BP Migas dengan pihak kontraktor.
Sementara itu, dari sembilan hakim konstitusi yang menolak judicial review UU Migas, ada dua hakim yaitu, H. Harjono dan Maruarar Siahaan yang berpendapat berbeda (Dissenting opinion). Hakim Harjono berpendapat legal standing anggota DPR dipertimbangan untuk melanjutkan hak-haknya mengajukan pertanyaan sesuai dengan UUD 1945 pasal 20A Ayat 3, sehingga DPR dapat melanjutkan fungsi pengawasannya terkait dengan pembuatan perjanjian dengan negara lain.
Sedangkan Hakim Maruarar Siahaan berpendapat bahwa pemberitahuan tertulis kepada DPR tentang adanya kontrak kerjasama dalam bidang Migas yang sudah ditandatangani, sebagai bentuk pengingkaran keikutsertaan rakyat sebagai pemilik kolektif sumber daya alam. Padahal DPR sebagai wakil rakyat berhak melakukan pengawasan terhadap potensi penyimpangan dalam kerjasama bidang migas.(novel)