Eramuslim.com – Upaya Presiden Joko Widodo menghapus persyaratan mahir berbahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing (TKA) yang hendak bekerja di Indonesia dinilai telah melanggar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. “Pemerintah melanggar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan,” kata Ketua Komisi IX Dede Yusuf di Gedung DPR, Jakarta, Senin (24/8), seperti dirilis pribuminews.
Undang-undang tersebut, tambah Dede, mewajibkan bahasa Indonesia digunakan dalam kontrak kerja di perusahaan negara, swasta, dan lainnya. Penghapusan syarat kewajiban berbahasa Indonesia terhadap TKA berdampak pada tenaga kerja Indonesia (TKI) di dalam negeri. Tentu saja, TKI tak saja bersaing dengan sesama warga negara, tapi juga dengan TKA. Dengan demikian, lapangan pekerjaan kian sempit.
Pemerintah, lanjutnya, harus berhati-hati dalam menerapkankan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pengunaan Tenaga Kerja Asing. Meski permenaker itu hasil revisi atas Permenaker Nomor 12 Tahun 2013, bukan berarti tidak dapat direvisi lagi. Menurut dia, aturan tersebut tetap dapat dilakukan revisi. Makanya, Komisi IX DPR berencana akan memanggil pemerintah melalui Menaker untuk dimintakan penjelasan.
“Tentu kita akan meminta penjelasan,” kata Dede.
Sebelumnya, ekonom senior Universitas Indonesia, Faisal Basri, juga mengatakan Joko menentang peraturan presiden yang ia tandatangani sendiri ketika mencanangkan “Gerakan Peningkatan Ekspor 3X Lipat” di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 3 Agustus lalu.
“Optimisme sah-sah saja. Saya juga sangat ingin perekonomian Indonesia maju dan ekspor terpacu sehingga nilai tukar rupiah tidak merosot terus-menerus. Masalahnya, ini mengurus perekonomian negara, bukan obral janji seperti di masa kampanye lagi. Segala sesuatu harus akuntabel dan kredibel, berdasarkan proyeksi atau prediksi yang terukur, karena target membawa konsekuensi pada program kerja dan instrumen kebijakan yang harus dipersiapkan serta termanifestasikan dalam pos anggaran di APBN,” tulis Faisal Basri di blog-nya.
Dengan target itu, menaikkan nilai ekspor tiga kali lipat, berarti ekspor Indonesia dalam lima tahun (2015-2019) naik sebesar 200%. Mungkinkah?
Mari kita lihat data yang dibeberkan Faisal Basri.
Tahun 2014, ekspor total senilai US$ 176,3 miliar, terdiri dari nonmigas US$ 146 miliar dan migas US$ 30,3 miliar. Jika ekspor naik tiga kali lipat pada tahun tahun 2019 berarti nilai ekspor total harus mencapai US$ 528,9 miliar. Kalau kenaikan ekspor nonmigas dan migas naik dengan kecepatan yang sama, masing-masing 200%, ekspor nonmigas pada tahun 2019 harus mencapai US$ 438 miliar dan ekspor migas US$ 90,9 miliar.
“Untuk mencapai target, ekspor total harus naik 24,6 persen rata-rata setahun. Ekspor migas hampir pasti tak bisa naik. Katakanlah ekspor migas hanya mandek di tingkat 2014, maka ekspor nonmigas harus lebih digenjot, harus naik 28 persen rata-rata setahun. Padahal, data terbaru menunjukkan, selama tahun 2015 (Januari-Mei), ekspor boro-boro naik, justru sebaliknya, terus melorot lebih dalam, pertumbuhannya minus 11,9 persen. Kemerosotan ekspor sudah memasuki tahun keempat dan dialami oleh produk nonmigas maupun migas,” kata Faisal.
Menengok ke belakang, perkembangan ekspor Indonesia selama 2008-2013 sebenarnya tergolong lumayan bagus dibandingkan dengan negara-negara pengekspor 30 besar, sehingga peringkat Indonesia naik dari ke-31 pada 2008 menjadi ke-27 pada 2013. Selama kurun waktu lima tahun itu ekspor Indonesia naik 24,5%, tapi sangat jauh lebih rendah dari target kenaikan 2015-2019 yang sebesar 200%.
Dalam rentang waktu yang sama, peningkatan ekspor tertinggi dinikmati India, yaitu sebesar 74,9%. Itu pun sangat rendah dibandingkan target pemerintah Indonesia yang 200%. “Target pemerintah semakin terasa ganjil karena negara-negara top-30 hampir tanpa kecuali mengandalkan ekspor manufaktur, sedangkan ekspor Indonesia masih sangat didominasi oleh komoditas primer yang harganya sangat bergejolak tajam sepertiroller coaster,” kata Faisal.
Diungkapkan Faisal, ekspor tidak bisa serta-merta naik. “Ekspor adalah hasil dari produksi yang tidak dikonsumsi di dalam negeri. Kalau produksi [produk domestik bruto] sedang loyo dan nilai nominalnya [bukan harga konstan] hanya naik belasan persen sekalipun, ekspor tak bisa ditingkatkan dua kali lipat dari peningkatan PDB. Bukankah konsumsi domestik juga naik?” ujar Faisal.
Dalam rentang waktu yang panjang, 1980 sampai 2014, Faisal menunjukkan data rata-rata pangsa ekspor barang dan jasa dalam PDB relatif stabil, peran ekspor dalam PDB sebesar 28,6%. “Dalam enam tahun terakhir justru terjadi penurunan. Kalaupun naik, sulit membayangkan kenaikan drastis. Hanya sekali terjadi kenaikan luar biasa, yaitu pada tahun 1998, ketika Indonesia mengalami krisis terburuk. Kenaikan tajam terjadi karena pertumbuhan eknomi merosot sampai 13 persen dan ekspor naik tajam karena nilai tukar rupiah terjun bebas. Sekarang, walaupun kurs sudah bertengger di aras Rp 13.492 per dollar AS—terendah sejak 1998—ekspor tetap saja lunglai,” katanya.
Ada lagi keanehan dengan gerakan genjot ekspor tiga kali lipat. “Entah dari mana datangnya angka itu,” ujar Faisal.
Di dokumen resmi pemerintah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019, target pertumbuhan ekspor nonmigas hanya 1 digit untuk 2015-16 dan 2 digit untuk 2017-1019. Perinciannya: 8,0% (2015), 9,9% (2016), 11,9% (2017), 13,7% (2018), dan 14,3% (2019).
RPJM tersebut sudah diberlakukan dengan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015. “Apakah presiden tidak sadar bahwa pencanangan itu bertentangan dengan perpres yang ditandatanganinya sendiri? Kalau tiga kali lipat tercantum dalam Rencana Strategis Kementerian Perdagangan 2015-2019, lantas apa gunanya RPJM yang telah dibuat dengan susah payah dan hasil dari proses penggodokan bertahun-tahun?” kata Faisal.(rd)