Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menilai Peraturan Presiden (Perpres) No14/2007 tentang Pembentukan Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo (BPLS) tidak memihak kepentinganmasyarakat korban Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur.
“Perpres yang menjadi payung hukum adanya transaksi jual beli secara cicil dengan pembayaran pertama sebesar 20% itu sangat tidak adil dan tidak manusiawi, ” ujar Wakil Ketua Pansus Lumpur Lapindo DPD Mujib Imron di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (17/4).
Menurutnya, Perpres tersebut tidak memperhatikan beban psikologis para korban yang selama sebelas bulan menderita akibat kecerobohan PT Lapindo Brantas.
Pengertian cash and carry (ganti rugi tunai), terang dia, adalah masyarakat melepaskan haknya dan Lapindo membayar secara tunai. Atau, PT lapindo membayar ganti rugi secara tunai terlebih dahulu lalu masyarakat melepaskan haknya.
“Tapi yang terjadi di lapangan tidak seperti itu. Bahkan tidak ada jaminan pembayaran dan tak adanya batas waktu (deadline) pembayaran pertama serta tidak adanya sanksi bagi Lapindo jika tidak memenuhi pembayaran tersebut, ” katanya.
Dijelaskannya, Perpres tersebut juga menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam menggunakan kekuasaannya terhadap PT Lapindo. ”Karena itu pemerintah harus meninjau kembali Perpres No 14/2007, khususnya Pasal 15 ayat (1) dan (2) yang mengatur cara pembayaran secara bertahap dan pembayaran tahap awal yang hanya sebesar 20%
Menyinggung tentang aksi unjuk rasa para korban Lumpur Lapindo di Jakarta, anggota DPD dari daerah pemilihan Jatim itu menilai aksi tersebut sebagai salah satu cara untuk menuntut hak-hak para korban yang selama ini tidak diperhatikan. (dina)
.