Panitia Ad Hoc III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menolak Ujian Nasional (UN) sebagai satu-satunya dasar penentuan kelulusan peserta didik.Oleh karena itu, Pemerintah diminta merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Standar Pendidikan Nasional yang menjadi dasar pelaksanaan UN.
Pernyataan tersebut disampaikan PAH III DPD dalam konferensi pers Ketua PAH III DPD Muhammad Surya (Jawa Barat) dengan para wakil ketua, Nuzran Joher (Jambi) dan Faisal Mahmud (Sulawesi Tengah), didampingi para anggota PAH III DPD Rusli Rachman (Bangka Belitung), A Mujib Imron (Jawa Timur), dan Wilhelmus Wua Openg (Nusa Tenggara Timur) di Ruang Sumithi, Jumat (2/6).
Selain itu, PAH III mendesak agar Pemerintah segera membentuk tim judicial review pasal-pasal dalam PP 19/2003 menyangkut pelaksanaan UN, serta mendesak DPD bersikap untuk mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan amanat Pasal 31 UUD 1945 mengenai alokasi anggaran pendidikan 20% dari APBN dan APBD pada APBNP 2006 sebagaimana dikuatkan lewat Keputusan MK Nomor 026/PUU-III/2006.
PAH III DPD merekomendasikan empat poin tersebut kepada Sidang Paripurna DPD yang digelar di Gedung Nusantara V pada Jumat (2/6) untuk diambil keputusan sebagai sikap DPD. PAH III DPD mengeluarkan rekomendasi sebagai fungsi pengawasan DPD setelah mencermati, membahas, serta mengkaji secara komprehensif pelaksanaan Pasal 31 UUD 1945 dan UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terkait pelaksanaan UN tahun ajaran 2005/2006.
Anggaran Pendidikan Masih Minim
Surya mengkhawatirkan, penyempitan makna pendidikan yang dilakukan pemerintah melalui berbagai kebijakannya dewasa ini akan diikuti dengan keengganan menaikkan anggaran pendidikan sesuai amanat konstitusi. “Jangan-jangan nanti Pemerintah mengatakan, "Untuk apa lagi 20%’,” tanya dia.
Ia pun mengkhawatirkan, Pemerintah akan mencari-cari seribu satu alasan untuk menunda-nunda pemenuhan anggaran pendidikan hingga 20% mengingat rekomendasi PAH III DPD akan disambut Pemerintah dengan kontroversial. Dengan misalnya mengatakan, ‘Tidak ada anggaran’, ‘harus ditutup dari sektor mana lagi?’. Jadi semua serba sektoral, lupa kalau menaikkan anggaran pendidikan kewajiban Pemerintah.”
Menurut Rusli, putusan MK tersebut sudah tidak bisa ditawar karena merupakan amanat Pasal 31 UUD 1945. Karena itulah, PAH III DPD meminta Sidang Paripurna kali ini melanjutkan rekomendasi tersebut menjadi sikap DPD. “Masa perintah UUD dicicil, ini tidak logis. Keadaan pendidikan kita sudah sangat parah. Alokasi 20% tidak bisa ditunda-tunda lagi,” tukasnya.
Di depan Sidang Paripurna DPD, PAH III DPD menyampaikan rekomendasi tentang hasil pengawasan DPD atas pelaksanaan UN tahun ajaran 2005/2006 dan anggaran pendidikan sebagai pelaksanaan UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Anggaran pendidikan tahun 2006 ini dipastikan hanya Rp 36,7 triliun, jauh dari batas minimal 20% dari total APBN seperti diamanatkan UU Sisdiknas. Jumlah tersebut sekitar 9,6% dari total APBN, itupun jika ditambah dengan anggaran pendidikan di Departemen Agama.
Tolak UN Sebagai Penentu Kelulusan
PAH III DPD menolak UN sebagai satu-satunya dasar penentuan kelulusan peserta didik karena saat ini standar lulus UN untuk setiap mata pelajaran nilainya lebih besar dari 4,25. Artinya, nilai terkecil adalah 4,26. Dari jumlah tiga mata pelajaran, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika (untuk IPA), dan Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Ekonomi/Akutansi (untuk IPS) rata-rata harus lebih besar dari 4,50. Jadi, paling rendah rata-ratanya 4,51.
Artinya, kalau ada yang nilainya berjumlah 4,25, berarti harus ada nilai yang lebih dari 4,50, supaya rata-ratanya nanti mencapai 4,51. “Kalau tiga-tiganya hanya ada nilai 4,26, siswa dinyatakan tidak lulus,” ungkap dia.
Menurut Nuzron, penetapan tiga mata pelajaran dalam UN bersifat diskriminatif karena dampaknya menjadikan tiga mata pelajaran sebagai prioritas dalam desain kurikulum sekolah. Demi lulus UN, siswa akan terpacu dan dipacu mementingkan tiga pelajaran tersebut, sementara pelajaran lain dinomorduakan.
Padahal, realitas menunjukkan bahwa anak dilahirkan dengan kecerdasan berbeda dan setiap anak memiliki salah satu atau beberapa kecerdasan yang menonjol, tetapi mungkin lemah dalam kecerdasan yang lain. “Penyelenggaraan UN tidak mempertimbangkan aspek psikologi dan sosiologi peserta didik.”
Mengutip Pasal 3 UU Sisdiknas, ia mengatakan, pendidikan nasional semestinya berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tujuannya, mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. “Ini berarti, kalau tiga pelajaran hanya aspek kognitif yang dikedepankan,” jelasnya.
Surya juga tidak setuju jika keberhasilan UN di atas kertas dalam waktu enam jam dilihat sebagai keberhasilan belajar selama tiga tahun. Sebaliknya kegagalan ujian di atas kertas selama enam jam itu menihilkan keberhasilan belajarnya selama tiga tahun. “Ini mereduksi makna pendidikan.”
Mujib menambahkan, PAH III DPD bisa saja menyatakan Menteri Pendidikan Nasional melanggar UU Sisdiknas terutama terkait pasal yang menyatakan pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Mendiknas juga bisa dikatakan mengabaikan penentuan standar nasional pendidikan yang terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Selain itu, Mendiknas juga bisa dinyatakan mengabaikan standar nasional pendidikan yang digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.
“Berarti Depdiknas itu departemen yang tidak mendidik secara nasional dengan menciptakan iklim pendidikan dan pembelajaran tidak kondusif bahkan mematikan. Mendiknas tidak paham filosofi pendidikan, hakekat, tujuan, dan arah pendidikan. Masa standar Papua disamakan dengan Jakarta?” terang Mujib. (dina)